Jumat, April 14, 2017

Catatan Ibadah Umroh III (habis)

Jam dinding terus berdetak. Detik menjadi menit, menit menjadi jam, jam menjadi hari, hari meloncat menjadi pekan. Begitu cepatnya waktu berlalu hingga tak terasa sudah satu bulan lebih ibadah Umroh berlalu. Kutuliskan ini dengan sisa-sisa ingatan yang masih ada di kepalaku. Sebagai catatan perjalanan sambungan dari dua tulisan sebelumnya yang ku tulis di sini dan di sini.

Ritual Umroh yang kedua selesai saat menjelang sholat Ashar. Jamaah yang sudah batal wudhunya harus mengambil air wudhu untuk bisa menjalankan sholat Ashar. Ritual Sai memang tidak masalah jika batal wudhu di tengah jalan, tetap sah Sai-nya meski tanpa wudhu.  Aku sendiri ragu apakah sudah batal wudhu ataukah belum. Maka kuputuskan untuk ikut jamaah yang mau mengambil air wudhu. Masjidil Haram ini begitu besarnya, tempat wudhu berada di halaman luar Masjidil Haram, lumayan jauh berjalan dari Bukit Marwa. Baru kuketahui dari viral message di WA kemudian minggu bahwa ternyata ada tempat wudhu di bawah tangga dekat Kakbah yang lebih dekat. Sehingga jamaah yang batal wudhu di dalam tidak harus jauh berjalan keluar Masjidil Haram.

Saat berjalan dari Bukit Marwa menuju tempat wudhu, tidak sengaja aku melewati jenazah-jenazah yang diletakkan berjajar-jajar. Mungkin inilah jenazah-jenazah yang disholatkan usai sholat fardhu. Seperti diketahui, setiap usai sholat fardhu di Masjid Nabawi maupun di Masjidil Haram hampir selalu dilaksanakan sholat jenazah. Hampir selalu, karena aku pernah juga berjamaah sholat fardhu yang tidak ada sholat jenazahnya.

Sambil lalu, kufoto deretan jenazah itu sehingga  hasilnya tidak center.  Allahumma ghfirlahum warhamhum, wa’afihim wa’fuanhum


Selepas mengambil air wudhu, jamaah terpencar. tidak lagi berbarengan. Aku sholat Ashar di tempat tersendiri berbeda dengan jamaah rombongan Umroh yang lain. Tidak masalah. Karrna setelah itu acaranya adalah balik ke hotel masing masing.

Ngomong-ngomong tentang wudhu di Masjidil Haram, jangan takut kedinginan walaupun wudhu di malam atau pagi hari. Karena airnya telah diatur agar terasa hangat, tidak berbeda jauh dengan suhu tubuh manusia.

Malam Senin. Sehabis isya, aku ingin lebih lama berada di Masjidil Haram. Makan malam yang biasanya aku ambil habis isya, sore tadi kuambil habis magrib. Perut sudah kenyang gak terganggu kebutuhan makan lagi. Benar-benar longgar untuk berlama lama di sini.

Aku turun ke pelataran Kakbah, thowaf berputar bersama aliran jemaah yang datang pergi tak pernah henti. Tak pernah ada sepinya, siang malam sama saja. Mengalir terus. Untuk itulah askar penjaga Masjidil Haram yang bertugas selalu menghalau jamaah yang berhenti di jalan tempat keluar masuk jamaah. ‘Ya haj haj” mereka memanggil jamaah dengan Haj (hajji). “thoriq ..thoriq.. “, maksudnya ‘jalan!.’ Jangan berhenti di area jalan!".
Banyak sekali askar yang ditugaskan untuk mengatur jemaah di Masjidil Haram ini. Di setiap sudut, setiap pintu, ditempatkan askar. Juga ada askar wanita. Mereka dikenali dengan pakaian dan bercadar hitam. Biasanya mereka mengawasi bila ada jemaah perempuan yang salah tempat di area laki-laki, mereka akan menunjukkan dimana seharusnya jamaah wanita sholat.
Setelah beberapa putaran, aku keluar dari lingkaran thowaf dan naik ke lantai 2. Sebelumnya aku sempat mengambil foto kertas ucapan berlatar belakang Kakbah untuk istri dan kedua anakku.

- From Mecca with Love -

Di lantai 2, aku mencari tempat berkarpet tebal untuk duduk lebih rileks. Kunikmati setiap detik keberadaanku di Masjid ini. Sholat sunnah dan membaca Alquran. Semula kuingin tidur sampai pagi di lantai 2 ini. Sayang badanku agak demam. Jaket yang kupakai tetap tidak bisa menahan rasa dingin di badan  Waktu menunjukkan jam 10 malam lebih. Akhirnya kuputuskan untuk pulang, minum obat dan istirahat di hotel.

Hari Senin, 6 Maret 2017. Ini hari terakhir jamaah umroh dari Hajar Aswad bisa menggunakan waktunya di Masjidil Haram. Siang itu, saat Matahari sudah meninggi, aku mencoba merangsek ke putaran thowaf agar bisa mendekati Kakbah. Masak, sih jauh jauh dari Indonesia tidak disempatkan sekalian untuk mencoba mencium Hajar Aswad dan sholat di Hijir Ismail?
Dari putaran paling luar aku terus merangsek masuk. Caranya ikut berjalan berputar bersama aliran thowaf tapi ketika ada celah yang bisa lebih mendekat Kakbah aku masuk ke sela itu, lama lama aku sampai di dekat Hijir Ismail. Area ini dibatasi tembok marmer melengkung setinggi sekitar 150 cm, tidak kelihatan dari jauh karena selalu tertutup jemaah. Sayang sekali, area Hijir Ismail saat itu sedang dibersihkan dan dipel, pintu ditutup. Agak lama kutunggu belum juga dibuka Akhirnya aku ikut putaran thowaf memutar lagi untuk mendekati Kakbah. Terus mencari celah untuk bisa mendekati Hajar Aswad. Di dekat pojok Yamani, aku sudah begitu dekat dengan kakbah dan tanganku berhasil menyentuh Kakbah. Gak bisa lama, karena terus didesak desak dari segala arah. Btw, di pojok Yamani ini - Pojok sebelum Hajar Aswad dalam arah putaran thowaf - jangan coba-coba untuk menciumnya. akan diteriaki oleh askar:  “Haram! Haram!,”  gak boleh!  Karena yang dicontohkan rosul untuk dicium hanya Hajar Aswad.
Dari pojok Yamani, kuberusaha untuk terus mepet dan melangkah mengikuti arus thowaf. Sampai di dekat pojok Hajar Aswad, kulihat jemaah benar benar padat. Berdempet-dempet tak ada celah sedikitpun. Bahkan untuk keluar dari kerumunanpun rasanya susah. “Waduh. Kayaknya gak mungkin deh badan sekecil ini bisa berebut tempat dengan banyak jemaah untuk mencium Hajar Aswad”. Seketika kulihat ada orang hitam besar keluar dari kerumunan dengan pakaian ihrom bagian atas terlepas. Keringat membasahi tubuhnya seperti habis mandi. Ini dia!, bisa-bisa aku akan mandi keringat juga kalau memaksakan diri  mencium Hajar Aswad. Mandi keringat sendiri, sih, gak masalah. Tapi ini jelas, aku juga akan mandi keringat orang lain!. Hadeh.. melihat keadaan yang berjubal jubal tanpa sela, akhirnya aku mundur teratur, keluar dari putaran thowaf. Biarlah. Ini bukan cerita tentang seorang manusia yang entah bagaimana (somehow) akhirnya bisa mencium Hajar Aswad, ini tentang seorang manusia melihat realitas. Yah, setidaknya aku pernah berusaha mendekatinya. Bila orang lain bercerita tentang suksesnya mencium Hajar Aswad dan sholat di Hijir Ismail. Kesuksesan bagiku saat itu adalah  cukup bisa menyentuh Kakbah, Baitullah, Rumah Allah. Dibanding luas Bumi, Kakbah ini merupakan satu titik kecil dimana umat Islam dari seluruh dunia menghadapkan wajahnya waktu sholat, dan aku berhasil menyentuhnya! Spectacular!

Sholat Ashar terakhir di Masjidil Haram, aku berangkat bersama Pak Sarwan. Mendengar cerita seru teman teman sepertinya Pak Sarwan ingin juga menggunakan hari terakhir ini untuk berdiam lebih lama di masjid. Selepas sholat fardhu ashar kami tidak pulang ke hotel. Kami menuju pelataran Kakbah untuk menunggu sholat maghrib tiba. Kami mendapatkan tempat yang lumayan longgar di pelataran Kakbah. Area ini dibatasi pagar plastik sehingga tidak terganggu lalu lalang jamaah yang thowaf.
Di Masjidil Haram ini petugas kebersihan tak pernah henti membersihkan area-area masjid. Betul betul dijaga kebersihannya setiap saat, hingga seakan tidak ada sebutir debu pun yang hinggap di lantai maupun di rak rak kitab suci. Hal ini tampaknya juga disadari oleh sekelompok jemaah yang membagikan buah kurma kepada para pengunjung Masjidil Haram. Sore itu, mungkin karena harinya Senin, Ada sekelompok jamaah yang membagikan buah kurma kepada para jamaah di sekitar kami duduk. Kemungkinan untuk memberikan buka bagi yang puasa sunah Senin. Untuk menjaga kebersihan masjid, buah kurma diletakkan dalam wadah wadah kecil dan disuguhkan ke jamaah di atas plastik panjang yang digelar di depan sof para jemaah. (Buah kurma dibagi bagikan juga jauh sebelum maghrib, tapi resminya baru mereka bagikan menjelang maghrib). Untuk mendampingi buah kurma diberikan minuman dalam cawan kertas kecil. Disebutnya kopi, tapi ketika kurasakan rasanya aneh. Tidak seperti kopi, pahit seperti jamu. (Barusan kuketahui setelah googling ternyata itu adalah kopi dari biji kurma). Hanya sekitar 10 menit setelah digelar, plastik tersebut segera diambil kembali, ada kopi yang tumpah di plastik. Mungkin kejadian seperti itu yang diantisipasi sehingga tidak mengotori lantai masjid. Jadi, praktis plastik yang baru dibuka dari gulungan  itu hanya digunakan selama 10 menit! dan setelah itu diambil dan dibuang ke tong sampah untuk menjaga kebersihan Masjid.
Habis Maghrib, kami pulang ke hotel untuk mengambil makan malam.
Isya, aku masih bareng Pak Sarwan menuju Masjdil Haram.  ‘Bagaimana kalau kita masuk masjid naik escalator lagi saja, Pak?’ Usulku. Kami menuju ruangan escalator.  
Ruangan escalator ini kami ketahui waktu turun dari lantai 2 ke bawah beberapa waktu sebelumnya. Baru kali ini kami naik escalator dari bawah menuju ke atas.  Di escalator, kami penasaran untuk terus naik, kira kira sampai dimana escalator ini akan mengantar jemaah. Ternyata kami sampai di area yang paling atas dari Masjidil Haram ini. Area yang luas beratapkan langit. “Wah, disini dipakai sholat juga ya, Pak”. Ucapku. “Tolong foto saya ya, Pak”,
Lantai atas ini di bagian sisi yang lain masih ditutup dan dipagari tinggi. Sepertinya daerah tersebut yang masih dalam proses perluasan Masjidil Haram. Alat alat berat seperti crane yang terlihat dari kejauhan bekerja di area itu



Foto Area Masjidil Haram lantai paling atas beratapkan langit.

Selepas sholat isya, kami kembali ke hotel untuk siap siap packing, karena pukul 4 dinihari koper besar harus sudah diletakkan di depan kamar untuk dibawa porter ke lantai bawah. Dan sebelum subuh, kami dijadwalkan untuk melakukan thowaf perpisahan atau thowaf wada.
Thowaf wadak merupakan thowaf perpisahan yang wajib dilakukan oleh jemaah Haji. Bagi jamaah Umroh, thowaf ini sebenarnya tidak wajib. Tapi diutamakan. Alangkah afdhalnya tentu saja, bila kita berpamitan sebelum pergi meninggalkan sesuatu yang kita datangi.
Kami dari tiga hotel yang berbeda berkumpul di area bawah tower untuk bersama-sama melakukan thowaf wada. Tidak semua.  Beberapa jemaah sudah melakukan sendiri lebih dahulu, Termasuk ibu yang sudah mengerjakan di malam hari atau kakak yang sudah mengerjakan lebih dahulu. Bersama ustadz razak dan ustadz Rais, kami dipandu untuk bersama-sama melakukan thowaf wada. Ada rasa sedih menyadari cepatnya waktu berputar hingga kami harus berpisah dengan Kakbah. Ada pertemuan, pastinya ada perpisahan.

Di agenda mestinya kami check out jam 12 siang, tapi dengan alasan biar lebih longgar dan tidak terlalu mepet menuju bandara kami sepakat check out pukul 9 pagi. Di perjalanan menuju Bandara King Abdul Aziz Jeddah, kami  diantar kepusat pertokoan al Baladz. Kabarnya ini merupakan pertokoan tertua di Jeddah. Banyak toko dengan nama indonesia di sini. Seperti misal Ali Murah, Sultan Murah, Nur Murah dan nama nama dengan embel embel murah yang lain. Tapi tidak seperti namanya, barang barang disini belum tentu murah, apalagi di era online sekarang, dimana harga barang bisa bersaing dan dibandingkan langsung lewat hape. Kalau tidak pintar pintar nawar dan tahu harga, beli barang di sini tentu malah lebih mahal.

Ada satu kuliner yang terkenal di Baladz ini. Adalah warung bakso Mang Oedin. Warung baksonya benar benar laris, entah apa motivasi jemaah Indonesia beli bakso disini. Apakah alasan enaknya?, penasaran?, ataukah gak tahan rindu masakan tanah air? Alasan harga yang murah jelas tidak. Satu porsi bakso biasa harganya 12 riyal. Tinggal ngalikan Rp. 3500,- jadinya satu mangkok bakso biasa setara Rp. 42.000. Lha ini kalau dibelikan Bakso di Yogya, sudah dapat empat porsi. Hehehe. Tapi aku berkesempatan juga mencicipi Bakso Mang Oedin ini. Bukan karena niat beli, sih. Tapi dijamu atau ditraktir.  Ceritanya kakak punya teman alumni sekolahnya dulu yang sekarang tinggal di Jeddah. Di era group WA seperti sekarang ini, komunikasi antar alumni sekolah bisa terjalin lebih lancar. Setelah ngobrol ngalor ngidul, mereka janjian untuk saling ketemu di al Baladz. Dan begitulah, kami disambut dengan keramahan dan kemurahannya. Saya ucapkan terimakasih buat teman lama kakakku ini ;


Selepas dari pertokoan Baladz, kami mampir juga di masjid yang terletak pinggiran laut merah. Nama masjid ini sebenarnya Masjid Arrahmah. Tetapi terkenal dengam sebutan Masjid terapung. Itu karena konstuksi masjid ini sebagian berada di atas laut. Tiang tiang penyangga masjid menancap kokoh di perairan pantai.  Sehingga diimaginasikan masjid ini mengapung di atas air laut. Di udara pantai yang panas, dalam masjid ini terasa sejuk sekali. ACnya benar benar kuat mengatur suhu ruangan. Masjidnya sungguh nyaman dan unik. Tak heran menjadi salah satu tujuan wisata para jemaah Umroh dari tanah air. Kami sholat dhuhur dan asar yang dijamak di masjid ini.

Oh, ya. Di sekitaran pantai ini kami juga melihat burung dara liar seperti halnya di Madinah maupun Masjidil Haram. Salah seorang teman jamaah bergumam. “Wah, ini kalau di Indonesia sudah habis (diburu),  lha wong sungai aja sekarang habis ikannya di buru pakai strom”, bener juga, sih. Apalagi di indonesia burung dara kan hewan ternak dan halal. Entah mengapa di tanah Arab ini, burung dara disebutnya burung haram. Harus dibiarkan, gak boleh diapa apakan. Hasil googling di internet menyebutkan ada hadis Nabi yang melarang orang untuk berburu khususnya di mekah dan madinah, di antara dua bukitnya tidak boleh dipotong pohonnya dan diburu binatangnya.
Puas mengunjungi masjid ini, kami harus segera ke bandara King Abdul Aziz Jeddah supaya tidak telat check in. Lebih baik menunggu di bandara daripada terlambat dan ketinggalan pesawat.
Sambil menunggu antrian masuk di bagian imigrasi bandara. Kami duduk duduk di area tunggu bandara. Bandara ini sangat luas. Tempat tunggu masuk ke imigrasi berupa kursi kursi yang diletakkan di ruang terbuka. Saat menunggu kami dihibur lagi cerita lucu dari salah satu teman jemaah tentang pelunasan nadzarnya.
Sebenarnya biasa aja, sih. Cerita Tentang pelunasan nadzar. Yang tidak biasa adalah bahwa nadzarnya ini meminum air kencing onta!  walah. Kok bisa?
Suatu ketika, cerita teman jemaah ini, saat adiknya Umroh ke tanah suci dan sedang tour di peternakan onta, adik ini mendapat info tentang air kencing onta yang kabarnya bisa untuk obat diabetes. Si Adik ini pun seketika ingat kakaknya yang sakit diabetes.  Karena harganya yang lumayan mahal, 30 riyal (Rp.  100 rb lebih), maka daripada mubadzir adik ini konfirmasi dulu lewat telepon ke kakaknya. “Mbak, dibelikan tidak? Ini obat (diabetes), lho?” Kakaknya yang tak lain teman jamaah ini menjawab “Tidak usah!, besuk aja pas saya kesitu, tak minumnya sendiri. (Dalam bahasa jawa dan menurut konteksnya, hal itu berarti besuk kalau bisa ke situ (Umroh), akan diminum langsung di tempatnya/kandang/peternakan onta). Tak disangka ternyata dalam waktu yang tidak begitu lama teman jamaah ini bisa berangkat juga untuk Umroh. Otomatis dia masih ingat jelas dengan perkataannya itu. Nadzarkah ini? Daripada kepikiran, akhirnya teman jemaah ini minta di antar ke peternakan onta untuk melaksanakan ucapannya. Lunas. Lega.

“Lunas Nazar saya, Alhamdulillah”, foto Bu Lilis yang melunasi nadzar.   

Seperti di bandara Solo, sebelum masuk pesawat, kami juga melewati scan barang bawaan. Barang barang yang terbuat dari logam harus dilepas untuk dilewatkan alat scan. Ikat pinggang, jam tangan, hape, akan berbunyi jika masih dipakai dan lewat pintu detector. Bahkan logo kecil yang terbuat dari logam di sepatuku ternyata juga memicu alarm detektor. Penjaga memintaku mundur lagi untuk menyopot sepatu dan harus dilewatkan alat scanner.
Beberapa saat di ruang tunggu, akhirnya kami pun dipanggil untuk segera naik pesawat Garuda yang akan mengantar kami kembali ke tanah air. Saking luasnya bandara, dari ruang tunggu menuju pesawat kami diantar menggunakan bus bandara. Jaraknya mungkin sekitar 300 - 500 m. Kondisi sudah gelap di luar bus, waktu sudah bakda isya.
Akhirnya pesawat pun take off menuju tanah air. Tidak seperti naik pesawat terbang sebelumnya, pada perjalanan pulang ini aku bisa banyak tidur di pesawat. Mungkin karena sudah punya pengalaman naik waktu berangkat, atau mungkin badan yang sudah capek, mungkin juga karena perjalanan malam dan cuaca yang cerah. Hanya pusing kepala dan jet lag yang masih tetap mengganggu. Bagiku perjalanan  pulang dan berangkat tetap merupakan perjuangan paling berat dalam ibadah Umroh.
Alhamdulillah, akhirnya Kami mendarat dengan selamat di Bandara Adi Soemarmo solo pukul pukul 14.00 dan dijemput keluarga masing masing.

Terimakasih sudah membaca catatan ini, semoga bisa diambil pelajaran atau gambaran bagi yang mau melaksanakan ibadah Umroh. Beberapa bagian mungkin akan dilengkapi, ditambah atau diedit jika dibaca baca ada yang salah.

Salam buat jemaah Umroh dari Hajar Aswad Solo yang berangkat pada tanggal 28 Feb 2017.

Kontributor