Jumat, Januari 07, 2022

In Memoriam Ibuku



Kutulis ini untuk mengenang ibu. Biar menjadi semacam memoir yang bisa selalu kubaca untuk mengingatkanku pada sosok ibuku. 

Ibu meninggal di usia kira2 78 tahun pada tanggal 19 Desember 21, tanggal yang tentunya akan dapat dengan mudah kuingat, disamping peristiwa itu pasti sangat berkesan pada siapapun yang kehilangan orang tuanya, tanggal ini juga berbarengan dengan teman2 FBku yang ramai menulis status bertema Dies Natalis UGM, suatu acara ulang tahun yang diperingati setiap tanggal 19 Desember. Maka, setiap tahun ketika teman FB posting Dies Natalis UGM, saya akan selalu teringat hari meninggalnya ibu.

Setiap manusia pasti punya kelebihan dan kekurangannya, tak ada manusia yang sempurna, saya tulis yang baik-baiknya saja tentang ibuku, apa saja yang bisa kujadikan teladan untuk melanjutkan hidup yang memang tak pernah titik. Koma, koma, koma terus. Selalu bersambung...

Sejauh ingatan yang aku punyai sejak kanak2, ibu sudah mempunyai penyakit batuk yang parah. Apalagi di waktu dingin (alergi dingin), jika kisah nabi Ayub adalah kisah tentang nabi yang menderita suatu penyakit dan tetap sabar dengan penyakit menahun yang dideritanya, Maka kisah semacam yang nyata bagiku adalah kisah ibuku sendiri. Betapa ibu mampu bersabar dan menerima penyakit batuk yang diderita, batuk2 yang bagi orang yang tak biasa mendengarnya mungkin akan merasa miris. Ibu bisa bermenit2 batuk (Jawa : ngikil), hingga ibupun merasa sungkan jika orang lain terganggu oleh batuknya.

Apakah ibu tidak berusaha untuk menyembuhkan penyakit batuknya? Sudah berbagai pengobatan dokter maupun obat tradisional dicobanya, tapi tak pernah berhasil, hingga beliau sepertinya tidak memikirkan lagi, ibuku hidup dengan batuk yang setiap saat muncul dengan berbagai pemicunya. Entah cuaca dingin atau makanan tertentu yang ternyata bisa menyebabkan batuknya.

Satu hal baik lagi yang mungkin perlu kuteladani dari ibu adalah kegemarannya, atau kesabarannya, menanam tanaman buah tahunan. Di jaman yang serba instan ini, dimana sesuatu diharapkan segera kelihatan hasilnya dengan cepat, menaman tanaman tahunan dimana hasilnya baru kelihatan bertahun ke depan pastinya hal yang cukup mengagumkan, ibu menanmnya seakan buahnya bisa dipanen besuk pagi. Jelas aku kagum, mengingat sampai tulisan ini ditulis, bahkan menanam biji lombok hingga berbuah pun aku belum pernah berhasil. Sejak kecil aku bisa makan buah jeruk, blimbing, mangga atau sirsat dari tanaman hasil ibu menanam dilahan rumah. bahkan tanaman sirsat ibu yang kutanam di Jogja kini masih terus berbuah tiap tahun. 

Jika definisi orang romantis adalah orang yang bisa melihat hidup sebagai rangkaian cerita, maka ibuku bisa jadi  bertipe romantis, ibu bisa bercerita banyak tentang masa kecilnya, tentang hubungan keluarga siapa anak siapa memanggil apa, momen-momen berkesan dalam hidup yang semua itu diceritakan saat ngobrol. Sayang, ibu tidak terbiasa menulis, ibu hanya bercerita secara lisan. Apa yang coba saya lakukan disini adalah mencoba menuliskannya sebatas apa yang mampu kuingat dan kurangkai dengan kata2ku sendiri.

Aku tahu ibu selalu mengkhawatirkan kehidupanku, tentang apa saja tingkah polah anak2nya. Ibuku selalu melihatku sebagai anaknya yang masih kecil, seakan tak percaya bahwa aku bisa menjalani hidup ini dengan pikiranku sendiri. Suatu waktu seakan ingin kukatakan padanya : "Tenanglah, Buk, anakmu sudah cukup mampu berjalan di dunia ini, yakin bisa menghadapi badai apa saja yang mungkin muncul"

(Badai pasti berlalu, kata pepatah, tapi komentar lucu teman FB : Bukan, bukan badai pasti berlalu, tapi badai pasti berlalu-lalang, tak henti2, ra uwes-uwes, hidup selalu berputar, yang lebih perlu lagi adalah menyadari kehidupan ini memang penuh badai dan bagaimana bisa menghadapinya).

Dalam beberapa bulan terakhir sebelum ibu meninggal, obrolan ibu selalu dalam tema2 kematian, dimana beliau minta dimakamkan, bagaimana ibu mengatakan mungkin beliau mungkin tak bertemu lagi dengan cucunya yang dalam kurun 3 tahunan bersekolah di tempat jauh,

Ibu seakan memberikan pesan, kematian itu alami, kita semua juga akan mati, tidak perlu ditakuti, kalau memang sudah waktunya, hadapi saja.

Salah satu keinginan ibu yang diucapkannya saat masih hidup adalah beliau ingin meninggal tanpa merepotkan orang lain. Dan keinginan ini menurutku benar2 terkabul, ibu meninggal dengan tenang di dekat anaknya. Sepuluh menit sebelum ibu pergi, bahkan ibu masih menjawab pertanyaanku, "aku ki rapapa, mung rasane lemes", jawab ibu. Permintaan ibu untuk dijemput ke Jogja ternyata adalah permintaan agar beliau ditemani anaknya di saat2 terakhirnya. Ibu selama ini memang tinggal sendiri, ada aktivitas ibu di pasar yang tak bisa ditinggalkan, ibu malah terasa nglangut kalau hanya duduk diam tidak punya aktivitas apa2. Ibu meninggal waktu dimana cucu2mya selesai ujian semesteran, istriku juga sudah tidak begitu banyak menguji mahasiwanya seperti minggu2 sebelumnya. Sehingga budaya yasinan dan tahlil di desa yang sampai 7 harian bisa diikuti dengan tuntas. 

(Allahummaghfirlaha Warhamha Wa’afiha Wa’fuanha : Ya Allah, ampunilah dia, belas kasihanilah, hapuskanlah dan ampunilah dosa-dosanya)

Jika saat meninggalnya bapakku dulu kebetulan aku baru ada saat jenazah bapak sudah dikafani, pada peristiwa meninggalnya ibu ini aku sendiri yang membopongnya, ikut memangku saat memandikannya, dan ikut masuk ke liang lahat menempatkan jenazahnya. 

Teringat kata Ebit G Ade, kematian hanyalah tidur panjang, maka mimpi indahlah engkau, surgalah di tanganmu, Tuhanlah di sisimu, doa2mu yang masuk dalam aliran darahku, denyut nadiku, anak2 dan cucumu yang selalu mengenangmu dan mencintaimu.




Kontributor