Jumat, Juni 09, 2017

Cara Menakar Beras Zakat Fitrah dengan Gelas


Zakat Fitrah menurut definisi yang saya dapatkan adalah zakat yang wajib dikeluarkan oleh orang Islam yang mampu, dengan syarat-syarat yang ditetapkan, dimana waktu dikeluarkannya adalah pada bulan romadhan. Batas maksimal dikeluarkan zakat ini adalah sebelum sholat ied dan Besaran zakat ini, pada zaman nabi diukur dalam satuan sha’. Yaitu sebesar 1 (satu) sha’.

Setelah saya telusuri, satuan sha’ ini ternyata adalah satuan volume, bukan satuan berat. Di Indonesia, 1 sha’ beras biasanya dipadankan secara baku menjadi satuan berat 2,5 kg beras.

Yang ingin saya tulis disini adalah bagaimana cara menakar beras seberat 2,5 kg tersebut? Kalau ada timbangan, sih, tidak masalah. Tetapi kalau tidak ada alat yang digunakan untuk menimbang, bagaimana cara yang paling mudah?

Yang perlu dilakukan adalah mengkonversi lagi satuan berat ini menjadi satuan volume. Setelah googling sana-sini saya dapatkan angka perbandingan untuk massa jenis beras dalam standar ukuran metrik sebagai berikut :

1 liter beras = 0,8 kg. 
berarti,
1 kg beras = 1 / 0,8 = 1,25 liter
Maka
2,5 kg beras = 1,25 liter/Kg x 2,5 kg = 3,12 liter

Benda yang mudah didapat untuk menakar beras dalam satuan liter ini adalah gelas. Gelas teh belimbing (alasnya bergerigi) yang umum kita pakai itu volumenya adalah 240 ml atau 0,24 liter.

Jadi untuk mendapatkan 3,12 liter beras diperlukan sebanyak 3,12 liter dibagi 0,24 liter = 13 gelas

Tambahan : mungkin ada yang menetapkan beras seberat 2,7 kg. Maka jumlah takaran gelas yang diperlukan adalah (2,7 x 1,25 ) liter / 0,24 liter  = 14 gelas

Demikian semoga bisa membantu,

sincerely yours,
sochib




Kamis, Juni 08, 2017

Logika Sederhana tentang SDM, SDA dan Keprihatinan Masa Depan Indonesia

Dulu saat sekolah maupun kuliah, sering dibedakan antara anak jurusan IPA (eksakta) dengan anak jurusan IPS (sosial). Bahwa anak IPA nilainya bagus bagus pada pelajaran fisika, matematika atau kimia. Cuma sayang, nilainya jeblok dalam hal menyampaikan pendapat dengan kata-kata, pidato di depan kelas, apalagi membuat puisi. Nol besar. Hal Itu membuat anak anak eksakta tidak kelihatan di panggung, termasuk di panggung medsos sekarang ini, dimana yang kelihatan adalah orang-orang seni, orang politik, termasuk juga para agamawan. Eh, namanya juga medsos, ya? Media Sosial. Lha ya jelas, lah!  Ini kan memang panggung sosial, gmn sih?  :)

Oh ya. Saya adalah typical anak IPA itu. Anak yang kuper, kurang pergaulan, dimana hari-harinya hanya bergelut dengan ilmu ilmu fisik saat anak sosial sebayanya sudah memikirkan kehidupan dengan serius. Saya merasakan sendiri bagaimana berkutat dengan pelajaran matematika - fisika, hingga limit kemampuan otak. Bahwa semangat menguasai ilmu itu, terkendala kemampuan mencerna di otak saya yang terbatas. Yang saya maksud terbatas disini adalah keterbatasan secara fisik. Dalam dunia komputer katakanlah hardwarenya bukan software. Organ otaknya, Bro!. (Ini mungkin perlu penjelasan khusus!) Dan akibat waktu yang habis digunakan untuk bergelut dengan ilmu-ilmu fisik membuat anak eksakta terlambat memahami hal lainnya. Keterlambatan anak eksakta dalam memahami dunia sosial membuatnya juga rentan terhadap masalah kejiwaan. Haha, tragis!  (#curcol)

Walau begitu, secara emosional, saya masih punya keinginan ilmu-ilmu eksakta bisa dikuasai oleh banyak generasi bangsa ini. Bukan hanya sekedar tahu konsep secara garis besar, tapi juga bisa berkreasi dan berinovasi dengan ilmu itu. Dan bukan hanya satu dua orang seperti selama ini terlihat, tetapi menjadi ilmu yang membudaya di masyarakat Indonesia. Semakin banyak masyarakat yang menguasainya, diharapkan semakin banyak bermunculan ahli-ahli yang bisa berperan dalam iptek mutakhir dunia.

Mengapa perlu menguasai ilmu ilmu eksakta menurut saya adalah karena ilmu ini merupakan dasar untuk memahami iptek itu sendiri. Ilmu Matematika misalnya, Seperti halnya ilmu bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan, ilmu matematika bisa dikatakan merupakan bahasa tersendiri untuk berkomunikasi dalam memahami teknologi. Tentu saja bukan sekedar  bahasa matematika tingkat dasar pipalanda (ping para lan sudo dalam bahasa indonesia berarti : perkalian, pembagian, penjumlahan dan pengurangan), tetapi matematika tingkat lanjut. Metode pencuplikan sinyal digital generasi pertama, kemudian GSM, HSDPA, hingga generasi keempat (4G) LTE tentu tak akan bisa dipahami jika tidak mengerti matematika yang membahas tentang transformasi fourier. Listrik juga tidak akan gampang dikalkulasi jika tidak melibatkan bilangan imaginer i, yakni akar dari bilangan negatif  1 (√-1). Bilangan Imaginer, Bro. hanya ada di Imaginasi!

Melihat perkembangan Indonesia akhir-akhir ini, saya khawatir Indonesia akan terus menurun daya saingnya di kancah dunia. Jangankan bersaing, sekedar mengikuti saja tidak bisa. Generasi kita tidak dibudayakan belajar Iptek, tapi malah belajar hal lain yang juga banyak menyita waktu dan energi. Pelajaran hafalan misalnya, walaupun hebat dan mengagumkan, tetapi itu saya pikir tidak bisa digunakan untuk memahami iptek, malah kadang memusuhinya. Hadeh.

Ontran-ontran yang terjadi di Indonesia sekarang ini menurut kacamata saya sebagai anak eksakta, adalah karena perebutan kekuasaan mengatur Sumber Daya Alam yang semakin lama semakin berkurang. Bangsa Indoneisa hanya "njagakke" kekayaan alamnya untuk bertahan hidup. Karena tidak bisa menguasai IPtek, kita tidak bisa memproduksi barang barang hasil iptek seperti halnya negara maju. Semua barang iptek di Indonesia ini diimpor dari negara lain. Jangankan hape, ibaratnya, jarum jahit untuk menjahit pakaian sendiri yang robekpun bangsa indonesia tidak bisa membuatnya. How sadly.

Untuk mendapatkan barang-barang iptek tersebut, pertukarannya juga tidak sebanding. Para petani misal, untuk membeli hape terbaru dari Korsel, harus menanam padi di lahan yang luas dengan waktu yang lama. Dan keuntungan dari panen itu mungkin hanya bisa dibelikan beberapa buah hape seri baru yang di Korsel sana mungkin dalam satu hari bisa diproduksi ribuan. Dìlihat dari waktu dan tenaga, sangat tidak sebanding, bukan? Belum bidang otomotif, perikanan, peternakan, dan di segala bidang indonesia jauh tertinggal.

Dan energi bangsa yang terus tersita dalam perebutan kekuasaan politik, serta utang negara yang terus menumpuk. Tidak menutup kemungkinan Indonesia akan berkecamuk perang saudara memperebutkan kekuasaan dengan kekerasan seperti terjadi di beberapa negara di Timur Tengah sekarang ini.

Tulisan ini mungkin tidak memberi solusi apa-apa, tapi paling tidak saya harap bisa memberi kesadaran bertapa kita bener-bener jauh tertinggal dan semakin tertinggal jika budaya iptek yang ada masih tetap seperti sekarang.

Tulisan ini ditulis oleh saya yang bukan ahli bahasa, tetapi saya harap ide yang ada akan tersampaikan.

Sincerely yours,
sochib

Kontributor