Selasa, Oktober 24, 2017

Muezza Sang Jin Penyembunyi Barang

Entah darimana memulai cerita ini, tapi menurutku ini hal lucu yang perlu diceritakan. Cerita tentang suatu kepercayaan bahwa barang yang tiba-tiba hilang di rumah, susah banget dicari padahal lagi dibutuhkan, bisa saja karena disembunyikan oleh jin yang nakal. 

Adalah istriku yang percaya banget tentang hal itu. Beberapa kali kejadian memang, kunci, gunting kecil, pemotong  kuku yang sebelumnya dicari-cari tidak ketemu, bisa tiba-tiba nongol saat tidak dibutuhkan. Tak habis pikir. Kok bisa? Tidak ada penjelasan yang bisa diterima selain itu adalah karena ulah mahluk gak kasat mata. Tapi bagiku sebenarnya itu cuma 'mungkin', sih. Antara percaya tidak percaya. 

Nah, pada suatu malam, keyakinan tentang hal ini bener-bener mencapai puncaknya. Yakin, pasti itu disebabkan ulah mahluk tak kasat mata. Berjam-jam di malam itu istri mencari bungkusan obat dari klinik Mitra Sehat, klinik langganan kami. Obat yang mestinya diminum saat itu dicari-cari tidak ketemu. Rasanya tak masuk akal kalau bungkusan obat itu bisa tidak ada. Obat itu baru saja dipegangnya, sudah siap diminum. Ditunda minumnya bentar hanya karena menunggu pesan Whatsapp dari tetangga. Apakah Bu Hartini, nama tetangga itu, jadi mau ngajak 'njagong' bayi barengan apa tidak?. Kalau jadi, minumnya nanti aja setelah njagong. Tapi jika tidak jadi, obatnya langsung diminum terus tidur. 

Aneh. Kalaupun ketlingsut, pasti tidak jauh jauh dari dua tempat.  Sejak pulang dari klinik Mitra Sehat, istri hanya masuk ruang tamu dan kamar Naura, anak ragil kami. 

Satu-satunya yang bisa dijadikan tersangka hanyalah mahluk gaib tak kasat mata. Mahluk yang selama ini hanya dicurigai saja. Haha

Aku sendiri tak tahu kapan hilangnya bungkusan obat itu. Seingatku waktu itu aku keluar rumah sebentar untuk ke apotik beli obat buatku sendiri. Ketika pulang rumah, minum obat dan sudah berangkat tidur, istri sudah kebingungan mencari-cari bungkusan itu. 

"Hambok diewangi, to…", sambat istri.

Yeah, aku sendiri yang akhirnya ikutan bantu mencari juga menyerah. Aku tinggal tidur lagi kemudian. Sekilas kudengar istri ngomong sendiri sama Jin. Ada nada mengancam gitu kalau obat tidak segera dikembalikan. “Awas Jin, kalau gak dikembalikan, tak ruqyah lho!“

Esok paginya bangun tidur aku masih penasaran dan berusaha mencarikan bungkusan obat itu. Siapa tahu jatuh di bawah meja, di clepitan kasur atau di mana. Masak sih bener-bener hilang. Karena sepertinya istri yakin betul bungkusan obat itu barusan dipegangnya. Ah, sudahlah. Lupakan. Sudah diubek-ubek seluruh kamar tetap gak ketemu! 

Aku sudah tidak sedang mencari obat itu ketika usai mengantar anak-anak ke sekolah mataku melihat beberapa obat berceceran di parkiran motor. Walah, mungkin ini dia obatnya yang dicari-cari. Pantes saja semalam tidak ketemu, lha wong berada di bawah motor. Tempat mencarinya juga hanya seputaran kamar dan ruang tamu.  

Dalam hal memberitahu istri, sebenarnya aku sudah mikir mau pakai kata apa enaknya untuk menggambarkan 'terdamparnya' bungkusan itu di parkiran. Apakah "jeblok" (terjatuh) dari motor,  ataukah 'dibuang' (oleh jin) karena kulihat obat itu tidak seperti terjatuh tapi berceceran. 

Melihat istri yang sepertinya yakin dijahili oleh Jin, akhirnya aku malah memilih menggunakan kata 'dibuang' sehingga drama ini semakin sempurna. 

"Wo lha ini, Yank...obatnya ketemu di parkiran motor"

Lho, kok bisa? 

Hambuh. .ketoke 'dibuang' di situ...

We lah, jan jin kurang ajar!

Sampai disini istri tampaknya semakin getem-getem sama sang jin tukang menyembunyikan benda di rumah kami.

Beberapa saat kemudian, sambil masih deleg-deleg, tak habis pikir, tiba-tiba istri nyelutuk. 'Kok bisa di parkiran ya?', "Apa gara-gara diambil si Muezza, ya? "

"HAH! APA? Muezza!  Walah. Iyya" aku baru sadar dan menemukan jawaban pasti bahwa itu paling kerjaan Si Mueza. 

Muezza adalah nama kucing peliharaan kami yang kalau malam hari tak taruh di luar rumah. Kandang Muezza di dalam rumah sudah kekecilan dan sering meang meong tak nyaman. 
Rupanya waktu aku membuka pintu saat mau beli obat ke apotik tadi malam, Mueza ini masuk rumah dan mengambil bungkusan obat di ruang tamu lalu digondol ke parkiran motor. 
Hadeh, tiwase semalaman mencurigai mahluk tak kasat mata, ternyata itu semua kerjaan si Muezza. 
Yaah. Muezza-muezza, kamu ini lho, bisa-bisanya ngerjain orang yang suka beliin makan kamu, mana wajahmu tanpa rasa salah lagi. Hahaha. 

Satu lagi yang lucu, tentang ancaman ruqyah pada si Jin,  ternyata istriku tak sekedar gertak sambal. istri cerita kalau malam itu si Jin diruqyah beneran. Dibacakan yasin biar si Jin 'kepanasan' dan diharapkan mau mengembalikan obat curiannya. 
Hadew, rasanya jadi jahat banget sama Om Jin. Hihihi

Moral cerita yang ingin aku sampaikan disini adalah : "Kalau kehilangan barang di rumah, cari dulu sampai ketemu, jangan buru-buru menyalahkan Om Jin"




Rabu, September 27, 2017

Pengalaman mengurus sendiri STNK yang hilang di SAMSAT Bantul

Menurut peraturan yang berlaku, STNK merupakan dokumen resmi yang penting bagi kendaraan bermotor. Tanpa adanya STNK, kendaraan yang dikendarai bisa dianggap ilegal, bahkan curian. Untuk itu, setiap pengendara di jalan raya, sekali lagi menurut peraturan yang ada, perlu membawa dokumen STNK ini. Bila kebetulan ada razia, perasaan akan nyaman karena pengendara yang tidak membawa STNK pastinya ribet akan ditilang dan didenda  dengan jumlah uang tertentu yang sudah ditetapkan undang-undang.

Bagaimana kalau kemudian, karena sesuatu hal, STNK ini hilang? Tentunya kita harus segera mendapatkan kembali duplikat dari Surat Tanda Nomor Kendaraan dari kepolisian yang menerbitkan STNK ini. Tetapi karena dalam penerbitan STNK ini melibatkan banyak pihak, yaitu Dinas Pendapatan Propinsi, Dinas Jasa Raharja dan Pajak Kendaraan Bermotor, maka untuk mempermudah pengurusan, dibuatlah Kantor yang menangani Sistem Administrasi (dalam) Satu Atap atau apa yang kita kenal dengan singkatan SAMSAT.

Di tulisan ini, saya akan menceritakan pengalaman saya saat mengurus duplikat dari STNK yang hilang beberapa waktu lalu di SAMSAT Bantul, sehingga bisa memberikan gambaran bagi siapa saja yang ingin mengurus kehilangan dokumen ini sendiri tanpa minta bantuan orang lain, khususnya di SAMSAT Bantul. Apa langkah langkah yang mesti di tempuh, biaya yang diperlukan serta tetek bengek lainnya sehingga pengurusan STNK hilang ini diharapkan lebih lancar.

Ok, kita mulai, 
Jika anda kehilangan STNK motor/mobil, hal pertama yang perlu dilakukan adalah laporan polisi soal kehilangan dokumen tadi.
Dalam laporan ini dibutuhkan data-data yang tertulis di STNK seperti nomer mesin, nomer ranka dan sebagainya. Untuk itu, kalau ada, persiapkan fotocopy STNK yang hilang tadi untuk laporan kepolisian. Bila ternyata anda belum sempat memfoto kopi STNKnya, data tersebut bisa anda temukan di BPKB. Persiapkan juga BPKB, karena BPKB ini nanti juga diperlukan sebagai salah satu syarat mendapatkan duplikat STNK. Dalam kasus lain, jika BPKB anda ternyata masih sebagai jaminan pihak leasing, anda bisa meminta surat keterangan dari leasing yang terkait untuk bisa membuatkan surat, bahwa BPKB tersebut masih digunakan sebagai jaminan.
Laporan kepolisian ini perlu dilegalisir di Polres Bantul. Saat saya mengurus STNK yang hilang kebetulan ada orang lain juga yang mengurus masalah yang sama, di meja terakhir saat penyerahan berkas-berkasnya, orang tersebut disuruh balik lagi karena ternyata laporan kepolisian belum dilegalisir. Jadi legalisir ini juga merupakan langkah wajib yang tidak boleh ditinggalkan. Di Samsat Bantul, ruangan untuk mengurus legalisir terletak di ruang sebelah timur ruang BRI (Bank). 
Sampai disini belum ada biaya yang dikeluarkan.

Setelah laporan yang dilegalisir ada di tangan, syarat lain yang perlu dikumpulkan adalah bukti bahwa kita pernah mengumumkan kehilangan STNK di dua media, yaitu media cetak dan radio. Bukti dari media cetak ini berupa potongan iklan baris yang nanti ditempelkan di bawah laporan, sedang bukti telah disiarkan berupa kwitansi pembayaran untuk beriklan dari kantor radio yang dipilih. 
Jadi mengurus STNK yang hilang ini tidak bisa sehari jadi, paling tidak perlu waktu dua hari karena harus menunggu mendapatkan bukti bahwa kehilangan tersebut telah diiklankan. Anda sebenarnya bisa sendiri menuju kantor koran maupun radio, tapi untuk mempersingkat waktu, ada jasa untuk mengurus dua hal tersebut di sekitar kantor SAMSAT bantul. Biayanya masing-masing media Rp. 15.000, -
Bila di hari pertama ini masih cukup waktu, langsung saja segera kumpulkan syarat lain yang dibutuhkan, yaitu : cek fisik kendaraan. Cek fisik ini diperlukan sebagai bukti bahwa kendaraan tersebut memiliki nomer rangka dan nomer mesin sesuai data yang ada di STNK. prosesnya, langsung saja anda mengambil antrian dan mengisi formulir yang disediakan. Jadi jangan lupa siapkan juga ballpoint dari rumah agar anda tidak bingung mencari ballpoint lagi di SAMSAT. 
Oh ya, cek fisik ternyata tidak butuh waktu lama, jika kelihatan banyak antrian, yakinlah bahwa setiap orang ternyata cuma butuh waktu sekitar 2-3 menit untuk digesek nomer rangka/mesinnya, dan petugas penggesek nomer rangka/mesin ini saya lihat ada dua orang. Dalam satu jam, sebanyak 60 orang bisa terlayani. Tidak ada biaya dalam cek fisik ini.

Sampai disini, seharusnya anda sudah bisa mengumpulkan sebagian syarat-syarat berikut ini :

  • 1. KTP asli dan foto kopinya sesuai nama yang tertera di STNK
  • 2. BPKB asli dan foto kopinya 
  • 3. Bukti laporan polisi yang telah dilegalisir
  • 4. Formulir Cek Fisik Kendaraan.
  • 5. Kwitansi pembayaran siaran radio 
Besoknya hari kedua, anda tinggal mengambil guntingan koran di Jasa pengurusan STNK yang anda mintai tolong, untuk kemudian ditempel di bagian laporan kepolisian.  Jangan lupa siapkan juga meterai Rp. 6000 yang akan dipakai untuk membuat surat pernyataan yang diberikan oleh loket I, anda masih perlu membawa ballpoint dari rumah untuk mengisi blanko surat pernyataan dan juga nanti untuk mengisi formulir penerbitan STNK di loket II. Saya tulis lagi point-pointnya biar lebih jelas

  • 6. Guntingan iklan baris koran 
  • 7. Surat Pernyataan kepemilikan STNK bermeterai
Di loket II, yang letaknya paling luar dekat parkiran sebelah timur, anda mendapatkan formulir penerbitan STNK yang harus anda isi, biaya formulir ini sesuai peraturan yang baru yaitu Rp. 100 rb untuk roda 2 dan Rp. 200 rb untuk roda 4. jadi point terakhir dokumen yang diperlukan adalah :

  • 8. Formulir penerbitan STNK
Setelah anda isi formulir tersebut, selanjutnya semua berkas yang ada di atas diserahkan ke loket penyerahan berkas yang berada di ruang utama, ada box warna merah, letakkan saja di situ. Nanti setelah dicheck petugas, nama anda atau nama yang sesuai di STNK akan dipanggil untuk mendapatkan tanda terima berkas penyerahan berikut tanggal kapan STNK dicetak dan bisa diambil. Saya hitung, dari tanggal penyerahan sampai tanggal pengambilan STNK ternyata perlu waktu 9 hari. Total biaya yang dikeluarkan dari iklan radio koran, materai, formulir penerbitan dan parkir kurang dari Rp. 150 rb.
Demikian, semoga tulisan ini bisa memberi gambaran anda yang mau mengurus sendiri STNK anda yang hilang.

Ribet juga ya.. semoga dengan ini bisa menjaga STNK masing2 lebih hati2

Terimaksih.

sincerely yours,
sochib

Rabu, Agustus 23, 2017

Daun Bopong, asal muasal nama Dusun Bopongan diambil



Nama tumbuhan ini adalah bopong, seringkali disebut dengan dong(daun) bopong. nama yang tidak begitu populer sebenarnya. Mungkin orang akan lebih 'ngeh' kalau disebut nama lain dari tumbuhan ini. Nama lainnya adalaah : ... tet tet teettt...! : Genjer!. Ya, tumbuhan genjer itu sebenarnya punya nama yang agak aneh didengar : bopong.
Kalau genjer siapa yang belum tahu? Setidaknya orang mungkin pernah mendengar lagu yang berjudul "Genjer-genjer". Lagu ini sangat populer karena jaman dahulu sering dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia. Kalau belum pernah dengar juga lagu berjudul genjer-genjer,  silakan cari di Google.

Saya sengaja mencari dan memotret tumbuhan ini untuk mengobati rasa penasaran karena mendengar sesepuh desa yang berbicara dalam acara pasrah temanten. Beliau memperkenalkan asal muasal dari nama dusun Bopongan yang ternyata diambil dari nama tumbuhan ini. Alkisah jaman dahulu, daerah ini banyak sekali bertebaran tumbuhan bopong, sehingga orang pun menamakan dusun ini sebagai dusun Bopongan.

Dan benar, mencari daun ini di sekitaran tempat tinggal saya di Bopongan (masuk dalam wilayah Bangunharjo, Sewon, Bantul) ini ternyata tidak sulit, daun itu saya ambil dari sawah di depan rumah. Tumbuh begitu saja, di sela-sela tanaman padi yang habis dipanen. Barangkali tanahnya masih menyimpan akar atau bibitnya sehingga akan segera tumbuh kalau keadaan memungkinkan.

Lebih jauh klasifikasi ilmiah tanaman ini menurut klasifikasi terbaru (APGII) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Clade  :Angiosperms
Clade : Monocots
Order :Alismatales
Family :Alismataceae
Genus : Limnocharis
Species: L. flava

Dapat dibaca dari klasifikasi tersebut tumbuhan bopong merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) dan berkeping biji tunggal (monocotil).

Demikian sekilas tentang tumbuhan bopong yang menjadi inspirasi nama dari dusun Bopongan.

sincerely yours,
sochib

Jumat, Juni 09, 2017

Cara Menakar Beras Zakat Fitrah dengan Gelas


Zakat Fitrah menurut definisi yang saya dapatkan adalah zakat yang wajib dikeluarkan oleh orang Islam yang mampu, dengan syarat-syarat yang ditetapkan, dimana waktu dikeluarkannya adalah pada bulan romadhan. Batas maksimal dikeluarkan zakat ini adalah sebelum sholat ied dan Besaran zakat ini, pada zaman nabi diukur dalam satuan sha’. Yaitu sebesar 1 (satu) sha’.

Setelah saya telusuri, satuan sha’ ini ternyata adalah satuan volume, bukan satuan berat. Di Indonesia, 1 sha’ beras biasanya dipadankan secara baku menjadi satuan berat 2,5 kg beras.

Yang ingin saya tulis disini adalah bagaimana cara menakar beras seberat 2,5 kg tersebut? Kalau ada timbangan, sih, tidak masalah. Tetapi kalau tidak ada alat yang digunakan untuk menimbang, bagaimana cara yang paling mudah?

Yang perlu dilakukan adalah mengkonversi lagi satuan berat ini menjadi satuan volume. Setelah googling sana-sini saya dapatkan angka perbandingan untuk massa jenis beras dalam standar ukuran metrik sebagai berikut :

1 liter beras = 0,8 kg. 
berarti,
1 kg beras = 1 / 0,8 = 1,25 liter
Maka
2,5 kg beras = 1,25 liter/Kg x 2,5 kg = 3,12 liter

Benda yang mudah didapat untuk menakar beras dalam satuan liter ini adalah gelas. Gelas teh belimbing (alasnya bergerigi) yang umum kita pakai itu volumenya adalah 240 ml atau 0,24 liter.

Jadi untuk mendapatkan 3,12 liter beras diperlukan sebanyak 3,12 liter dibagi 0,24 liter = 13 gelas

Tambahan : mungkin ada yang menetapkan beras seberat 2,7 kg. Maka jumlah takaran gelas yang diperlukan adalah (2,7 x 1,25 ) liter / 0,24 liter  = 14 gelas

Demikian semoga bisa membantu,

sincerely yours,
sochib




Kamis, Juni 08, 2017

Logika Sederhana tentang SDM, SDA dan Keprihatinan Masa Depan Indonesia

Dulu saat sekolah maupun kuliah, sering dibedakan antara anak jurusan IPA (eksakta) dengan anak jurusan IPS (sosial). Bahwa anak IPA nilainya bagus bagus pada pelajaran fisika, matematika atau kimia. Cuma sayang, nilainya jeblok dalam hal menyampaikan pendapat dengan kata-kata, pidato di depan kelas, apalagi membuat puisi. Nol besar. Hal Itu membuat anak anak eksakta tidak kelihatan di panggung, termasuk di panggung medsos sekarang ini, dimana yang kelihatan adalah orang-orang seni, orang politik, termasuk juga para agamawan. Eh, namanya juga medsos, ya? Media Sosial. Lha ya jelas, lah!  Ini kan memang panggung sosial, gmn sih?  :)

Oh ya. Saya adalah typical anak IPA itu. Anak yang kuper, kurang pergaulan, dimana hari-harinya hanya bergelut dengan ilmu ilmu fisik saat anak sosial sebayanya sudah memikirkan kehidupan dengan serius. Saya merasakan sendiri bagaimana berkutat dengan pelajaran matematika - fisika, hingga limit kemampuan otak. Bahwa semangat menguasai ilmu itu, terkendala kemampuan mencerna di otak saya yang terbatas. Yang saya maksud terbatas disini adalah keterbatasan secara fisik. Dalam dunia komputer katakanlah hardwarenya bukan software. Organ otaknya, Bro!. (Ini mungkin perlu penjelasan khusus!) Dan akibat waktu yang habis digunakan untuk bergelut dengan ilmu-ilmu fisik membuat anak eksakta terlambat memahami hal lainnya. Keterlambatan anak eksakta dalam memahami dunia sosial membuatnya juga rentan terhadap masalah kejiwaan. Haha, tragis!  (#curcol)

Walau begitu, secara emosional, saya masih punya keinginan ilmu-ilmu eksakta bisa dikuasai oleh banyak generasi bangsa ini. Bukan hanya sekedar tahu konsep secara garis besar, tapi juga bisa berkreasi dan berinovasi dengan ilmu itu. Dan bukan hanya satu dua orang seperti selama ini terlihat, tetapi menjadi ilmu yang membudaya di masyarakat Indonesia. Semakin banyak masyarakat yang menguasainya, diharapkan semakin banyak bermunculan ahli-ahli yang bisa berperan dalam iptek mutakhir dunia.

Mengapa perlu menguasai ilmu ilmu eksakta menurut saya adalah karena ilmu ini merupakan dasar untuk memahami iptek itu sendiri. Ilmu Matematika misalnya, Seperti halnya ilmu bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan, ilmu matematika bisa dikatakan merupakan bahasa tersendiri untuk berkomunikasi dalam memahami teknologi. Tentu saja bukan sekedar  bahasa matematika tingkat dasar pipalanda (ping para lan sudo dalam bahasa indonesia berarti : perkalian, pembagian, penjumlahan dan pengurangan), tetapi matematika tingkat lanjut. Metode pencuplikan sinyal digital generasi pertama, kemudian GSM, HSDPA, hingga generasi keempat (4G) LTE tentu tak akan bisa dipahami jika tidak mengerti matematika yang membahas tentang transformasi fourier. Listrik juga tidak akan gampang dikalkulasi jika tidak melibatkan bilangan imaginer i, yakni akar dari bilangan negatif  1 (√-1). Bilangan Imaginer, Bro. hanya ada di Imaginasi!

Melihat perkembangan Indonesia akhir-akhir ini, saya khawatir Indonesia akan terus menurun daya saingnya di kancah dunia. Jangankan bersaing, sekedar mengikuti saja tidak bisa. Generasi kita tidak dibudayakan belajar Iptek, tapi malah belajar hal lain yang juga banyak menyita waktu dan energi. Pelajaran hafalan misalnya, walaupun hebat dan mengagumkan, tetapi itu saya pikir tidak bisa digunakan untuk memahami iptek, malah kadang memusuhinya. Hadeh.

Ontran-ontran yang terjadi di Indonesia sekarang ini menurut kacamata saya sebagai anak eksakta, adalah karena perebutan kekuasaan mengatur Sumber Daya Alam yang semakin lama semakin berkurang. Bangsa Indoneisa hanya "njagakke" kekayaan alamnya untuk bertahan hidup. Karena tidak bisa menguasai IPtek, kita tidak bisa memproduksi barang barang hasil iptek seperti halnya negara maju. Semua barang iptek di Indonesia ini diimpor dari negara lain. Jangankan hape, ibaratnya, jarum jahit untuk menjahit pakaian sendiri yang robekpun bangsa indonesia tidak bisa membuatnya. How sadly.

Untuk mendapatkan barang-barang iptek tersebut, pertukarannya juga tidak sebanding. Para petani misal, untuk membeli hape terbaru dari Korsel, harus menanam padi di lahan yang luas dengan waktu yang lama. Dan keuntungan dari panen itu mungkin hanya bisa dibelikan beberapa buah hape seri baru yang di Korsel sana mungkin dalam satu hari bisa diproduksi ribuan. Dìlihat dari waktu dan tenaga, sangat tidak sebanding, bukan? Belum bidang otomotif, perikanan, peternakan, dan di segala bidang indonesia jauh tertinggal.

Dan energi bangsa yang terus tersita dalam perebutan kekuasaan politik, serta utang negara yang terus menumpuk. Tidak menutup kemungkinan Indonesia akan berkecamuk perang saudara memperebutkan kekuasaan dengan kekerasan seperti terjadi di beberapa negara di Timur Tengah sekarang ini.

Tulisan ini mungkin tidak memberi solusi apa-apa, tapi paling tidak saya harap bisa memberi kesadaran bertapa kita bener-bener jauh tertinggal dan semakin tertinggal jika budaya iptek yang ada masih tetap seperti sekarang.

Tulisan ini ditulis oleh saya yang bukan ahli bahasa, tetapi saya harap ide yang ada akan tersampaikan.

Sincerely yours,
sochib

Jumat, April 14, 2017

Catatan Ibadah Umroh III (habis)

Jam dinding terus berdetak. Detik menjadi menit, menit menjadi jam, jam menjadi hari, hari meloncat menjadi pekan. Begitu cepatnya waktu berlalu hingga tak terasa sudah satu bulan lebih ibadah Umroh berlalu. Kutuliskan ini dengan sisa-sisa ingatan yang masih ada di kepalaku. Sebagai catatan perjalanan sambungan dari dua tulisan sebelumnya yang ku tulis di sini dan di sini.

Ritual Umroh yang kedua selesai saat menjelang sholat Ashar. Jamaah yang sudah batal wudhunya harus mengambil air wudhu untuk bisa menjalankan sholat Ashar. Ritual Sai memang tidak masalah jika batal wudhu di tengah jalan, tetap sah Sai-nya meski tanpa wudhu.  Aku sendiri ragu apakah sudah batal wudhu ataukah belum. Maka kuputuskan untuk ikut jamaah yang mau mengambil air wudhu. Masjidil Haram ini begitu besarnya, tempat wudhu berada di halaman luar Masjidil Haram, lumayan jauh berjalan dari Bukit Marwa. Baru kuketahui dari viral message di WA kemudian minggu bahwa ternyata ada tempat wudhu di bawah tangga dekat Kakbah yang lebih dekat. Sehingga jamaah yang batal wudhu di dalam tidak harus jauh berjalan keluar Masjidil Haram.

Saat berjalan dari Bukit Marwa menuju tempat wudhu, tidak sengaja aku melewati jenazah-jenazah yang diletakkan berjajar-jajar. Mungkin inilah jenazah-jenazah yang disholatkan usai sholat fardhu. Seperti diketahui, setiap usai sholat fardhu di Masjid Nabawi maupun di Masjidil Haram hampir selalu dilaksanakan sholat jenazah. Hampir selalu, karena aku pernah juga berjamaah sholat fardhu yang tidak ada sholat jenazahnya.

Sambil lalu, kufoto deretan jenazah itu sehingga  hasilnya tidak center.  Allahumma ghfirlahum warhamhum, wa’afihim wa’fuanhum


Selepas mengambil air wudhu, jamaah terpencar. tidak lagi berbarengan. Aku sholat Ashar di tempat tersendiri berbeda dengan jamaah rombongan Umroh yang lain. Tidak masalah. Karrna setelah itu acaranya adalah balik ke hotel masing masing.

Ngomong-ngomong tentang wudhu di Masjidil Haram, jangan takut kedinginan walaupun wudhu di malam atau pagi hari. Karena airnya telah diatur agar terasa hangat, tidak berbeda jauh dengan suhu tubuh manusia.

Malam Senin. Sehabis isya, aku ingin lebih lama berada di Masjidil Haram. Makan malam yang biasanya aku ambil habis isya, sore tadi kuambil habis magrib. Perut sudah kenyang gak terganggu kebutuhan makan lagi. Benar-benar longgar untuk berlama lama di sini.

Aku turun ke pelataran Kakbah, thowaf berputar bersama aliran jemaah yang datang pergi tak pernah henti. Tak pernah ada sepinya, siang malam sama saja. Mengalir terus. Untuk itulah askar penjaga Masjidil Haram yang bertugas selalu menghalau jamaah yang berhenti di jalan tempat keluar masuk jamaah. ‘Ya haj haj” mereka memanggil jamaah dengan Haj (hajji). “thoriq ..thoriq.. “, maksudnya ‘jalan!.’ Jangan berhenti di area jalan!".
Banyak sekali askar yang ditugaskan untuk mengatur jemaah di Masjidil Haram ini. Di setiap sudut, setiap pintu, ditempatkan askar. Juga ada askar wanita. Mereka dikenali dengan pakaian dan bercadar hitam. Biasanya mereka mengawasi bila ada jemaah perempuan yang salah tempat di area laki-laki, mereka akan menunjukkan dimana seharusnya jamaah wanita sholat.
Setelah beberapa putaran, aku keluar dari lingkaran thowaf dan naik ke lantai 2. Sebelumnya aku sempat mengambil foto kertas ucapan berlatar belakang Kakbah untuk istri dan kedua anakku.

- From Mecca with Love -

Di lantai 2, aku mencari tempat berkarpet tebal untuk duduk lebih rileks. Kunikmati setiap detik keberadaanku di Masjid ini. Sholat sunnah dan membaca Alquran. Semula kuingin tidur sampai pagi di lantai 2 ini. Sayang badanku agak demam. Jaket yang kupakai tetap tidak bisa menahan rasa dingin di badan  Waktu menunjukkan jam 10 malam lebih. Akhirnya kuputuskan untuk pulang, minum obat dan istirahat di hotel.

Hari Senin, 6 Maret 2017. Ini hari terakhir jamaah umroh dari Hajar Aswad bisa menggunakan waktunya di Masjidil Haram. Siang itu, saat Matahari sudah meninggi, aku mencoba merangsek ke putaran thowaf agar bisa mendekati Kakbah. Masak, sih jauh jauh dari Indonesia tidak disempatkan sekalian untuk mencoba mencium Hajar Aswad dan sholat di Hijir Ismail?
Dari putaran paling luar aku terus merangsek masuk. Caranya ikut berjalan berputar bersama aliran thowaf tapi ketika ada celah yang bisa lebih mendekat Kakbah aku masuk ke sela itu, lama lama aku sampai di dekat Hijir Ismail. Area ini dibatasi tembok marmer melengkung setinggi sekitar 150 cm, tidak kelihatan dari jauh karena selalu tertutup jemaah. Sayang sekali, area Hijir Ismail saat itu sedang dibersihkan dan dipel, pintu ditutup. Agak lama kutunggu belum juga dibuka Akhirnya aku ikut putaran thowaf memutar lagi untuk mendekati Kakbah. Terus mencari celah untuk bisa mendekati Hajar Aswad. Di dekat pojok Yamani, aku sudah begitu dekat dengan kakbah dan tanganku berhasil menyentuh Kakbah. Gak bisa lama, karena terus didesak desak dari segala arah. Btw, di pojok Yamani ini - Pojok sebelum Hajar Aswad dalam arah putaran thowaf - jangan coba-coba untuk menciumnya. akan diteriaki oleh askar:  “Haram! Haram!,”  gak boleh!  Karena yang dicontohkan rosul untuk dicium hanya Hajar Aswad.
Dari pojok Yamani, kuberusaha untuk terus mepet dan melangkah mengikuti arus thowaf. Sampai di dekat pojok Hajar Aswad, kulihat jemaah benar benar padat. Berdempet-dempet tak ada celah sedikitpun. Bahkan untuk keluar dari kerumunanpun rasanya susah. “Waduh. Kayaknya gak mungkin deh badan sekecil ini bisa berebut tempat dengan banyak jemaah untuk mencium Hajar Aswad”. Seketika kulihat ada orang hitam besar keluar dari kerumunan dengan pakaian ihrom bagian atas terlepas. Keringat membasahi tubuhnya seperti habis mandi. Ini dia!, bisa-bisa aku akan mandi keringat juga kalau memaksakan diri  mencium Hajar Aswad. Mandi keringat sendiri, sih, gak masalah. Tapi ini jelas, aku juga akan mandi keringat orang lain!. Hadeh.. melihat keadaan yang berjubal jubal tanpa sela, akhirnya aku mundur teratur, keluar dari putaran thowaf. Biarlah. Ini bukan cerita tentang seorang manusia yang entah bagaimana (somehow) akhirnya bisa mencium Hajar Aswad, ini tentang seorang manusia melihat realitas. Yah, setidaknya aku pernah berusaha mendekatinya. Bila orang lain bercerita tentang suksesnya mencium Hajar Aswad dan sholat di Hijir Ismail. Kesuksesan bagiku saat itu adalah  cukup bisa menyentuh Kakbah, Baitullah, Rumah Allah. Dibanding luas Bumi, Kakbah ini merupakan satu titik kecil dimana umat Islam dari seluruh dunia menghadapkan wajahnya waktu sholat, dan aku berhasil menyentuhnya! Spectacular!

Sholat Ashar terakhir di Masjidil Haram, aku berangkat bersama Pak Sarwan. Mendengar cerita seru teman teman sepertinya Pak Sarwan ingin juga menggunakan hari terakhir ini untuk berdiam lebih lama di masjid. Selepas sholat fardhu ashar kami tidak pulang ke hotel. Kami menuju pelataran Kakbah untuk menunggu sholat maghrib tiba. Kami mendapatkan tempat yang lumayan longgar di pelataran Kakbah. Area ini dibatasi pagar plastik sehingga tidak terganggu lalu lalang jamaah yang thowaf.
Di Masjidil Haram ini petugas kebersihan tak pernah henti membersihkan area-area masjid. Betul betul dijaga kebersihannya setiap saat, hingga seakan tidak ada sebutir debu pun yang hinggap di lantai maupun di rak rak kitab suci. Hal ini tampaknya juga disadari oleh sekelompok jemaah yang membagikan buah kurma kepada para pengunjung Masjidil Haram. Sore itu, mungkin karena harinya Senin, Ada sekelompok jamaah yang membagikan buah kurma kepada para jamaah di sekitar kami duduk. Kemungkinan untuk memberikan buka bagi yang puasa sunah Senin. Untuk menjaga kebersihan masjid, buah kurma diletakkan dalam wadah wadah kecil dan disuguhkan ke jamaah di atas plastik panjang yang digelar di depan sof para jemaah. (Buah kurma dibagi bagikan juga jauh sebelum maghrib, tapi resminya baru mereka bagikan menjelang maghrib). Untuk mendampingi buah kurma diberikan minuman dalam cawan kertas kecil. Disebutnya kopi, tapi ketika kurasakan rasanya aneh. Tidak seperti kopi, pahit seperti jamu. (Barusan kuketahui setelah googling ternyata itu adalah kopi dari biji kurma). Hanya sekitar 10 menit setelah digelar, plastik tersebut segera diambil kembali, ada kopi yang tumpah di plastik. Mungkin kejadian seperti itu yang diantisipasi sehingga tidak mengotori lantai masjid. Jadi, praktis plastik yang baru dibuka dari gulungan  itu hanya digunakan selama 10 menit! dan setelah itu diambil dan dibuang ke tong sampah untuk menjaga kebersihan Masjid.
Habis Maghrib, kami pulang ke hotel untuk mengambil makan malam.
Isya, aku masih bareng Pak Sarwan menuju Masjdil Haram.  ‘Bagaimana kalau kita masuk masjid naik escalator lagi saja, Pak?’ Usulku. Kami menuju ruangan escalator.  
Ruangan escalator ini kami ketahui waktu turun dari lantai 2 ke bawah beberapa waktu sebelumnya. Baru kali ini kami naik escalator dari bawah menuju ke atas.  Di escalator, kami penasaran untuk terus naik, kira kira sampai dimana escalator ini akan mengantar jemaah. Ternyata kami sampai di area yang paling atas dari Masjidil Haram ini. Area yang luas beratapkan langit. “Wah, disini dipakai sholat juga ya, Pak”. Ucapku. “Tolong foto saya ya, Pak”,
Lantai atas ini di bagian sisi yang lain masih ditutup dan dipagari tinggi. Sepertinya daerah tersebut yang masih dalam proses perluasan Masjidil Haram. Alat alat berat seperti crane yang terlihat dari kejauhan bekerja di area itu



Foto Area Masjidil Haram lantai paling atas beratapkan langit.

Selepas sholat isya, kami kembali ke hotel untuk siap siap packing, karena pukul 4 dinihari koper besar harus sudah diletakkan di depan kamar untuk dibawa porter ke lantai bawah. Dan sebelum subuh, kami dijadwalkan untuk melakukan thowaf perpisahan atau thowaf wada.
Thowaf wadak merupakan thowaf perpisahan yang wajib dilakukan oleh jemaah Haji. Bagi jamaah Umroh, thowaf ini sebenarnya tidak wajib. Tapi diutamakan. Alangkah afdhalnya tentu saja, bila kita berpamitan sebelum pergi meninggalkan sesuatu yang kita datangi.
Kami dari tiga hotel yang berbeda berkumpul di area bawah tower untuk bersama-sama melakukan thowaf wada. Tidak semua.  Beberapa jemaah sudah melakukan sendiri lebih dahulu, Termasuk ibu yang sudah mengerjakan di malam hari atau kakak yang sudah mengerjakan lebih dahulu. Bersama ustadz razak dan ustadz Rais, kami dipandu untuk bersama-sama melakukan thowaf wada. Ada rasa sedih menyadari cepatnya waktu berputar hingga kami harus berpisah dengan Kakbah. Ada pertemuan, pastinya ada perpisahan.

Di agenda mestinya kami check out jam 12 siang, tapi dengan alasan biar lebih longgar dan tidak terlalu mepet menuju bandara kami sepakat check out pukul 9 pagi. Di perjalanan menuju Bandara King Abdul Aziz Jeddah, kami  diantar kepusat pertokoan al Baladz. Kabarnya ini merupakan pertokoan tertua di Jeddah. Banyak toko dengan nama indonesia di sini. Seperti misal Ali Murah, Sultan Murah, Nur Murah dan nama nama dengan embel embel murah yang lain. Tapi tidak seperti namanya, barang barang disini belum tentu murah, apalagi di era online sekarang, dimana harga barang bisa bersaing dan dibandingkan langsung lewat hape. Kalau tidak pintar pintar nawar dan tahu harga, beli barang di sini tentu malah lebih mahal.

Ada satu kuliner yang terkenal di Baladz ini. Adalah warung bakso Mang Oedin. Warung baksonya benar benar laris, entah apa motivasi jemaah Indonesia beli bakso disini. Apakah alasan enaknya?, penasaran?, ataukah gak tahan rindu masakan tanah air? Alasan harga yang murah jelas tidak. Satu porsi bakso biasa harganya 12 riyal. Tinggal ngalikan Rp. 3500,- jadinya satu mangkok bakso biasa setara Rp. 42.000. Lha ini kalau dibelikan Bakso di Yogya, sudah dapat empat porsi. Hehehe. Tapi aku berkesempatan juga mencicipi Bakso Mang Oedin ini. Bukan karena niat beli, sih. Tapi dijamu atau ditraktir.  Ceritanya kakak punya teman alumni sekolahnya dulu yang sekarang tinggal di Jeddah. Di era group WA seperti sekarang ini, komunikasi antar alumni sekolah bisa terjalin lebih lancar. Setelah ngobrol ngalor ngidul, mereka janjian untuk saling ketemu di al Baladz. Dan begitulah, kami disambut dengan keramahan dan kemurahannya. Saya ucapkan terimakasih buat teman lama kakakku ini ;


Selepas dari pertokoan Baladz, kami mampir juga di masjid yang terletak pinggiran laut merah. Nama masjid ini sebenarnya Masjid Arrahmah. Tetapi terkenal dengam sebutan Masjid terapung. Itu karena konstuksi masjid ini sebagian berada di atas laut. Tiang tiang penyangga masjid menancap kokoh di perairan pantai.  Sehingga diimaginasikan masjid ini mengapung di atas air laut. Di udara pantai yang panas, dalam masjid ini terasa sejuk sekali. ACnya benar benar kuat mengatur suhu ruangan. Masjidnya sungguh nyaman dan unik. Tak heran menjadi salah satu tujuan wisata para jemaah Umroh dari tanah air. Kami sholat dhuhur dan asar yang dijamak di masjid ini.

Oh, ya. Di sekitaran pantai ini kami juga melihat burung dara liar seperti halnya di Madinah maupun Masjidil Haram. Salah seorang teman jamaah bergumam. “Wah, ini kalau di Indonesia sudah habis (diburu),  lha wong sungai aja sekarang habis ikannya di buru pakai strom”, bener juga, sih. Apalagi di indonesia burung dara kan hewan ternak dan halal. Entah mengapa di tanah Arab ini, burung dara disebutnya burung haram. Harus dibiarkan, gak boleh diapa apakan. Hasil googling di internet menyebutkan ada hadis Nabi yang melarang orang untuk berburu khususnya di mekah dan madinah, di antara dua bukitnya tidak boleh dipotong pohonnya dan diburu binatangnya.
Puas mengunjungi masjid ini, kami harus segera ke bandara King Abdul Aziz Jeddah supaya tidak telat check in. Lebih baik menunggu di bandara daripada terlambat dan ketinggalan pesawat.
Sambil menunggu antrian masuk di bagian imigrasi bandara. Kami duduk duduk di area tunggu bandara. Bandara ini sangat luas. Tempat tunggu masuk ke imigrasi berupa kursi kursi yang diletakkan di ruang terbuka. Saat menunggu kami dihibur lagi cerita lucu dari salah satu teman jemaah tentang pelunasan nadzarnya.
Sebenarnya biasa aja, sih. Cerita Tentang pelunasan nadzar. Yang tidak biasa adalah bahwa nadzarnya ini meminum air kencing onta!  walah. Kok bisa?
Suatu ketika, cerita teman jemaah ini, saat adiknya Umroh ke tanah suci dan sedang tour di peternakan onta, adik ini mendapat info tentang air kencing onta yang kabarnya bisa untuk obat diabetes. Si Adik ini pun seketika ingat kakaknya yang sakit diabetes.  Karena harganya yang lumayan mahal, 30 riyal (Rp.  100 rb lebih), maka daripada mubadzir adik ini konfirmasi dulu lewat telepon ke kakaknya. “Mbak, dibelikan tidak? Ini obat (diabetes), lho?” Kakaknya yang tak lain teman jamaah ini menjawab “Tidak usah!, besuk aja pas saya kesitu, tak minumnya sendiri. (Dalam bahasa jawa dan menurut konteksnya, hal itu berarti besuk kalau bisa ke situ (Umroh), akan diminum langsung di tempatnya/kandang/peternakan onta). Tak disangka ternyata dalam waktu yang tidak begitu lama teman jamaah ini bisa berangkat juga untuk Umroh. Otomatis dia masih ingat jelas dengan perkataannya itu. Nadzarkah ini? Daripada kepikiran, akhirnya teman jemaah ini minta di antar ke peternakan onta untuk melaksanakan ucapannya. Lunas. Lega.

“Lunas Nazar saya, Alhamdulillah”, foto Bu Lilis yang melunasi nadzar.   

Seperti di bandara Solo, sebelum masuk pesawat, kami juga melewati scan barang bawaan. Barang barang yang terbuat dari logam harus dilepas untuk dilewatkan alat scan. Ikat pinggang, jam tangan, hape, akan berbunyi jika masih dipakai dan lewat pintu detector. Bahkan logo kecil yang terbuat dari logam di sepatuku ternyata juga memicu alarm detektor. Penjaga memintaku mundur lagi untuk menyopot sepatu dan harus dilewatkan alat scanner.
Beberapa saat di ruang tunggu, akhirnya kami pun dipanggil untuk segera naik pesawat Garuda yang akan mengantar kami kembali ke tanah air. Saking luasnya bandara, dari ruang tunggu menuju pesawat kami diantar menggunakan bus bandara. Jaraknya mungkin sekitar 300 - 500 m. Kondisi sudah gelap di luar bus, waktu sudah bakda isya.
Akhirnya pesawat pun take off menuju tanah air. Tidak seperti naik pesawat terbang sebelumnya, pada perjalanan pulang ini aku bisa banyak tidur di pesawat. Mungkin karena sudah punya pengalaman naik waktu berangkat, atau mungkin badan yang sudah capek, mungkin juga karena perjalanan malam dan cuaca yang cerah. Hanya pusing kepala dan jet lag yang masih tetap mengganggu. Bagiku perjalanan  pulang dan berangkat tetap merupakan perjuangan paling berat dalam ibadah Umroh.
Alhamdulillah, akhirnya Kami mendarat dengan selamat di Bandara Adi Soemarmo solo pukul pukul 14.00 dan dijemput keluarga masing masing.

Terimakasih sudah membaca catatan ini, semoga bisa diambil pelajaran atau gambaran bagi yang mau melaksanakan ibadah Umroh. Beberapa bagian mungkin akan dilengkapi, ditambah atau diedit jika dibaca baca ada yang salah.

Salam buat jemaah Umroh dari Hajar Aswad Solo yang berangkat pada tanggal 28 Feb 2017.

Senin, Maret 27, 2017

Catatan Ibadah Umroh II (di Mekkah)

Catatan ini merupakan kelanjutan Catatan Ibadah Umroh I (di Madinah) yang aku tulis sebelumnya. Kini akan aku ceritakan ibadah Umroh saat di Mekkah secara kronologis seperti catatan pertama.

Rukun Umroh yang pertama adalah ihrom. Ditandai dengan memakai pakaian ihrom, yaitu pakaian yang terdiri dari dua helai kain tidak berjahit dan dipakainya sejak di miqot. Miqot adalah batas tempat atau waktu dimana peziarah harus memakai pakaian tersebut. Miqot tempat untuk orang-orang yang datang dari Madinah adalah di Masjid Abyar Ali. Dari Masjid Nabawi jaraknya sekitar 20 km atau 20 menit perjalanan bus.

Kami sampai ke Masjid Abyar Ali masih di siang yang terik, menyilaukan mata. Rekomendasi dari biro untuk membawa kacamata hitam mungkin untuk menghadapi cahaya Matahari seperti ini. Masjidnya ramai, di halaman banyak terparkir bus-bus berisi jemaah dari berbagai negara. Semua yang datang ke masjid ini terlihat sudah memakai pakaian ihrom. Sepertinya memang semua yang datang ke masjid ini dalam rangka keperluan yang sama, mengambil miqot untuk ibadah Umroh. Kami yang sudah siap dengan pakaian ihrom langsung sholat tahiyatul masjid dan sholat sunnat ihrom dua rekaat. Sesudah itu langsung  berkumpul lagi di dalam bus untuk segera berangkat ke kota Mekkah.


Persis ketika akan berangkat meninggalkan area masjid ini, kami dipimpin oleh Muthowif melafalkan niat Umroh bersama-sama. “Labbaik Allahuma umrotan”. Sejak itu, kami semua berada dalam keadaan ihrom. Rukun Umroh pertama sudah dimulai. Larangan-larangan dalam ihrom mulai berlaku. Labbaik allahumma labbaik, aku datang memenuhi panggilanmu ya Allah.


Jaman dulu jaman nabi, kata Muthowif, perjalanan memakai unta dari Madinah menuju Mekkah memakan waktu selama 13 hari 13 malam. Banyak hal bisa terjadi selama waktu itu. Karena itulah banyak larangan saat ihrom jaman dulu yang terasa janggal jika diterapkan sekarang. Larangan menikah dan menikahkan misalnya, pasti aneh akan terjadi pernikahan dalam perjalanan yang hanya makan waktu 5 jam dan kebanyakan dipakai tidur di bus. Larangan berburu binatang juga aneh. Binatang apa yang mau diburu? Juga buat apa? Larangan yang perlu diwaspadai di jaman sekarang adalah kalau kelupaan masih memakai CD (Celana Dalam, kain berjahit) atau kalau tidak sengaja mencabut bulu badan. Entah gara gara ‘ngupil’ atau garuk garuk karena gatal. Salah salah bisa terkena Dam atau Denda. Dan dendanya tidak main main, Satu ekor kambing atau kurang lebih 2 juta rupiah.


Di dalam bus, aku duduk di deretan kursi paling depan. Bisa ku pilih, karena saat masuk ke bus waktu berangkat tadi masuknya paling pertama dibanding jemaah lain. Pandangan lebih luas ke kiri-kanan. Saat ada sesuatu yang menarik, aku bisa memotret baik dari kamera hape maupun kamera saku yang kubawa. Muthowif menjelaskan kembali tentang manasik Umroh. Di perjalanan menuju Baitullah, kami disunatkan untuk banyak-banyak bertalbiyah. Labbaik Allahumma Labbaik.



Hari beranjak sore, Matahari mulai terbenam. Dari atas bus, aku dapat menikmati sunset di daerah gurun ini. Suasana sore temaram yang indah perlahan lahan berganti menjadi keremangan maghrib. Langit jingga keemasan di ufuk barat, tampak menjadi background jajaran gedung gedung modern bertingkat di kejauhan. Terkadang, panorama gunung batu menyeruak seiring bus melewati lerengnya yang sudah digempur menjadi jalan lurus lebar beraspal ini. Sungguh, sebuah pemandamgan yang tak terlupakan.

Setelah bertemu sebuah masjid di pinggir jalan, kami berhenti untuk melaksanakan sholat Maghrib dan sholat Isyak yang dijamak, juga ke toilet bagi yang ingin buang air kecil. Kota Mekkah masih jauh, kira kira 3,5 jam perjalanan lagi. Rencana setelah sampai di kota Mekkah nanti, jemaah langsung menuju Masjidil Haram untuk bersama sama melaksanakan thowaf, yaitu memutari Ka'bah sebanyak tujuh kali, dilanjutkan sai. Karenanya, jemaah dianjurkan untuk bisa istirahat selama dalam perjalanan.


Saat mulai masuk kota Mekkah, muthowif membangunkan kami. Jam menunjukkan pukul 9.30 WAS (Waktu Arab Saudi). Kembali jemaah bersama-sama bertalbiyah. Labbaik Allahumma labbaik. Kami melewati sebuah masjid yang merupakan miqot bagi orang orang yang tinggal di Mekkah. Namanya masjid  Aisyah. Letaknya kira-kira 7 km di utara Masjidl Haram. Besuk waktu Umroh yang kedua, kata muthowwif, miqotnya diambil dari masjid  tersebut.

Rombongan jemaah Umroh dalam bus ini terbagi dalam 3 hotel tempat menginap. Jadi bus harus mengantar ke masing masing hotel. Aku bersama beberapa yang lain termasuk ibu dan kakak mendapat hotel dalam urutan terakhir. Kami sepakat untuk kumpul di halaman Masjidil Haram di jam 11 malam.

Kuperhatikan kota Mekkah ini berbeda sekali dengan kota Madinah yang luas dan tenang. Lalu lintas disini lebih padat, Banyak taksi berseliweran, kontur jalannya tidak rata, naik turun di daerah sekitar Masjidil Haram.


Hotel yang aku tenpati untuk menginap di Mekkah ini namanya hotel Azka Al Safa. Bersama 3 orang teman yang sama seperti di hotel Concorde Madinah, kami mendapat kamar di lantai 10 ruang nomer 1010. Berbeda dengan hotel-hotel yang ada di Madinah, lantai hotel di sini bisa lebih dari 14 tingkat. Terlihat tinggi menjulang. Transportasi antar lantai menggunakan lift yang berjajar kiri kanan hingga 10 buah. Yang membuat hotel ini tampak lebih berkelas dibanding hotel di Madinah yang aku tempati sebelumnya adalah sistem air di kamar mandinya yang memancar lebih kuat. Shower air lebih besar, dan penghisap udara di atas kamar mandi yang berfungsi bagus. Fasilitas dan ruangan juga terlihat lebih 'lux'. Setelah meletakkan tas bawaan dalam kamar, kami segera turun kembali ke lobby untuk bareng bareng menuju Masjidil Haram. Meskipun capek dari perjalanan jauh, jangan sampai mandi menyegarkan badan di kamar mandi hotel, jemaah masih dalam keadaan ihrom, larangan memakai wangi wangian terus berlaku. (sabun mandi/pasta gigi mengandung wangi wangian).



di lobby hotel Azka Al Safa dengan pakaian ihrom, sudah siap berthowaf

Waktu yang disepakati molor, ini karena hotel kami yang berlainan dan saling berjauhan. Ada satu rencana yang meleset disini, yaitu makan malam yang dijadwalkan di hotel ternyata gagal karena sudah telat waktunya. Restoran sudah tutup. Bagiku tidak masalah, tapi bagi jemaah yang memang lapar, bagusnya membeli roti atau makanan buat pengganjal perut, mengingat thowaf dan sai perlu mengeluarkan energi yang lumayan. Atau Ini mungkin perlu diantisipasi oleh biro perjalanan jika hal ini terjadi bagaimana supaya jemaah tidak dalam perut kosong waktu menjalani Thowaf dan Sai.

Akhirnya jemaah semua  bisa berkumpul bersama di halaman Masjidil Haram, di bawah tower jam besar (Makkah Royal Clock Tower)

Inilah saat yang dinanti nanti. Sebentar lagi kami semua mengunjungi Ka'bah, Baitullah, tempat yang disucikan ummat Islam di seluruh dunia.


Di depan pintu gerbang, kami berhenti sebentar. muthowif memimpin doa masuk Masjidil Haram, Allahumma Antas salam, wa minKas salam, wa ilaiKa ya'udus salam.  Kami semua menirukan dengan khidmat, kami datang kesini berharap bisa menyelami nilai nilai spiritual dari millah Nabi Ibrahim ini. Aku mencoba menghayati kata-kata Muthowif dan semoga tidak ada pikiran negatif yang membuat rusak ibadahku sendiri. Perlahan namun pasti, kami berjalan menuju Ka'bah. Air Mata ingin tumpah di momen ini. Tak terkatakan. Muthowif memandu dari arah mana seharusnya kami masuk. Dengan menggunakan lift, kami turun ke pelataran yang paling bawah. Pelataran dimana Ka'bah terletak. Melihat Ka'bah pertama kali merupakan pengalaman personal, berbeda bagi tiap tiap orang.  Akhirnya pada suatu masa dalam hidupku ini, aku diberi kesempatan juga mengunjungi Baitullah. Satu tempat yang sejak kecil selalu aku dengar ceritanya. Apalah aku? Aku berharap pikiranku yang tak pernah berhenti berputar ini selalu memikirkan sesuatu yang positif. Aku mencintai semua manusia yang berada disini, aku bagian dari mereka, aku tidak ingin menyepelekan apapun yang ada di hadapanku ini. Kuputari Ka'bah dengan khusuk, seperti semua orang melakukannya disini. Bismillahi allahu akbar. Kulambaikan tanganku.


Selesai thowaf tujuh putaran, kami sholat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim. Satu tempat dimana dulu nabi Ibrahim berdiri saat membangun Ka'bah. Seperti dalam manasik, dua surat yang dibaca adalah surat Al Kafirun dan Al Ikhlas. Setelah selesai sholat kami masing-masing berdoa, kubaca lagi kertas catatan doa dari istri, kucoba membacanya dengan khusuk. Juga titipan doa dari teman-teman kupanjatkan di depan Baitullah ini.


Setelah itu, kami minum air zam-zam yang tersedia di area thowaf dengan tak lupa berdoa  seperti tuntunan manasik. Air zam-zam dimasukkan dalam galon-galon besar berjajar seperti yang ada di masjid Madinah. Tinggal menuang ke dalam gelas plastik yang tersedia dan meminumnya. Bayanganku dulu, prosesi ini lebih rumit dengan mengambil air dari sumur zam-zam.


Kemudian kami melanjutkan rukun Umroh berikutnya, yaitu sai, berjalan dan lari-lari kecil antara bukit Sofa dan Marwa. Malam semakin dingin, doa doa saat sai dipimpin langsung oleh Muthowif, jemaah tinggal menirukan. Pada putaran-putaran akhir pikiranku sedikit terganggu dengan kondisi ibu. Apakah ibu masih kuat menjalankan ibadah ini? Bagaimana kalau blio terus memaksakan diri sementara fisik sebenarnya tidak kuat?. Ibadah ini disamping selalu berdzikir dan berdoa, juga perlu kekuatan fisik.



Akhirnya kulihat ibu setelah selesai putaran ke 7 sepertinya kondisi masih baik baik saja, Alhamdulilah kami semua dapat menyelesaikan ritual Umroh ini. Semua lega dan bahagia. Satu persatu rambut dipotong oleh muthowif. Inilah yang dinamakan tahallul, menghalalkan yang sebelumnya diharamkan saat ihrom. Kami bersalaman, bermaaf maafan di puncak bukit Marwa.


Bersama kakak dan ibu, diambil sehabis menyelesaikan ibadah Umroh.

Ngomong ngomong tentang bukit Shafa dan Marwa, ini bukan lagi bukit bebatuan yang terjal, keduanya sudah dibangun untuk kenyamanan peziarah, jalan sai maupun bukitnya sudah berbalut marmer. Di sepanjang jalan banyak kipas angin untuk sirkulasi udara. Hal ini membuat ritual sai bisa dilakukan kapan saja sepanjang waktu, tidak terganggu panas atau hujan. Juga tersedia air zam-zam di jalur sai. Memungkinkan peziarah bisa minum kalau memang kehausan ditengah perjalanan.

Kami mengambil foto dengan background Ka'bah, Setelah itu semua balik ke hotel, untuk istirahat dan Menunggu waktu subuh. Jarak Masjidil Haram ke hotel lumayan dekat, hanya sekitar 12 menit berjalan  kaki.

Di jalan menuju hotel bersama teman sekamar, kami membicarakan tentang niat potong botak atau plontos di barbershop pinggir jalan. Potong botak ternyata tidak dilakukan sesaat setelah selesai sai. Bayanganku dulu sebelum mengalami sendiri ibadah ini, sesaat setelah selesai sai, ada jasa potong botak langsung di tempatnya. Tidak, bukan seperti itu. Setelah selesai sai, rambut digunting minimal 3 helai sebagai tanda tahallul, kemudian balik dulu ke hotel untuk istirahat, setelah itu kalau menginginkan potong botak atau pendek di sekitaran hotel banyak terdapat kios kios yang menawarkan jasa potong rambut seperti halnya barbershop di Indonesia.
Mandi air hangat dengan shower besar di kamar hotel benar-benar membuat badan segar. Menjelang subuh pagi itu, badanku sudah siap berangkat kembali ke Masjidil Haram untuk sholat subuh berjamaah. Dua teman sekamar yang sudah berusia lumayan sepuh masih agak kelelahan, mereka pingin berangkat  lebih akhir ditemani Mas Antok, teman sekamar yang paling muda. Aku mendahului berangkat sendiri ke Masjid.
Sampai Masjidil Haram ternyata sudah banyak jemaah sholat subuh yang datang. Pintu Masjidil Haram tempat masuk yang semalam ditutup untuk menghindari ‘crowded’.  Jemaah dialihkan masuk dari pintu lain. Aku ikut memutar mengikuti arus, hingga akhirnya kudapatkan tangga masuk ke Masjidil Haram.  Tak terlihat Ka'bah dari tempatku sholat ini. Tapi shof sholat lebih longgar, tidak penuh berdempetan. Ini sholat fardhu pertama yang kulakukan di Masjidil Haram. Setelah sholat subuh, lumayan lama aku duduk duduk di Masjid sambil menunggu balsem menghangat di kakiku. Kakiku yang agak njarem selepas thowaf dan sai tadi pagi coba kuobati dengan balsem yang kubawa. Aku berharap tidak ada yang terganggu dengan bau balsem yang kupakai. Kupikir, ada baiknya jemaah Umroh siap siap juga membawa param kocok atau conterpin jika memiliki riwayat ‘njarem’ pada kakinya.
Cukup lama duduk di Masjid selepas subuh itu, tak terasa pagi sudah benderang. Aku kembali lagi ke hotel. Waktunya makan pagi. Di lobby hotel, aku bertemu Pak Sarwan, teman satu kamar. Pak Sarwan bercerita kalau ia sedang bersama orang tua yang tersesat dari rombongan. Kalau kuhitung, ini kali ketiga aku ketemu orang tersesat tidak tahu jalan pulang selama ibadah Umroh. Untuk itu penting memang bagi jemaah Umroh khususnya lansia untuk selalu membawa kartu identitas yang menyimpan informasi : nama,  hotel tempat menginap dan nomer telpon ustadz pemandunya.
Potong botak disini alatnya cuma pisau lipat yang tajam dan sekali pakai dibuang. Prosesnya pertama rambut dibasahi dan diberi semacam busa pelicin. Dengan tangan profesional, dalam waktu 10 menit, kepala sudah bersih tanpa rambut. Tarifnya 10 riyal, tertulis di papan. Namun di kios kios belakang, bukan di pinggir jalan, tarifnya bisa ditawar separuhnya, 5 riyal.
Mengapa banyak jemaah Umroh sering potong botak? Ini karena menurut Nabi Muhammad SAW lebih utama. Bagiku sendiri alasannya ditambah. Karena botak jelas menyehatkan kulit kepalaku yang sering ketombean. Disamping itu juga :  isis (jawa: sensasi dingin di kulit kepala karena kena angin). Hehehe.
Hari Sabtu menurut agenda tidak ada kegiatan selain ke Masjidil Haram. Aku sendiri setelah potong plontos berusaha merebahkan badan untuk istirahat. Besuk acaranya city tour Mekkah, mengunjungi tempat-tempat yang dipakai dalam ibadah haji seperti tempat wukuf di Arrafah, tempat bermalam di Mina juga tempat lempar jumroh dan terakhir bagi yang berniat Umroh kedua, sekalian membawa kain ihrom untuk ambil miqot di masjid Aisyah.
Mumpung di Mekkah, sebisa mungkin maksimalkan beribadah di Masjidil Haram. Siangnya aku mencoba untuk mendekati Ka'bah. Panas matahari ternyata menyilaukan di pelataran Ka'bah yang bermarmer putih. Kacamata hitam lupa kubawa. Setelah sholat dua rekaat aku mencari tenpat duduk di tempat yang agak terlindung cahaya matahari, mencoba berdzikir, merenung, di tempat yang sangat spesial, bersama orang orang dari penjuru dunia. Ini aku, setitik debu di alam raya ini mencoba mendekatiMu. Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah, wa qina adzabannar..
Selepas sholat dhuhur, aku balik hotel. Baru kuketahui betapa ramainya jalanan saat persis bubaran sholat fardhu. Jalanan dipenuhi jemaah yang mau balik ke hotel, seperti lebah beterbangan ke luar dari sarangnya. Taksi taksi berseliweran untuk mengantar jemaah ke hotel hotel yang lebih jauh. Petugas kebersihan berdiri pasif berharap sedekah dari jemaah. Petugas kebersihan ini memang tidak terlihat aktif meminta sedekah, tapi dari ‘gesture’ maupun sorot matanya, kelihatan jelas mereka berharap ada sedekah dari para jemaah.
Insiden Pak Sarwan terluka jari tangannya karena kena gunting.
Dua teman kamarku sudah lumayan sepuh, namanya hampir mirip. Pak Sarwono dan Pak Sarwan. Pak Sarwono sering bersama keponakannya, Mas Antok. Sedang Pak Sarwan sering bersamaku. Maghrib ini aku bersama Pak Sarwan bareng ke Masjidil Haram.
Bersama teman satu kamar. Mas Antok (Kurniawan Dwi Putranto) , penulis, Pak Sarwan, Pak Sarwono.
Alkisah saat Pak Sarwan merogoh tas mau mengambil botol untuk diisi air zam-zam, tak sengaja salah satu jari tangannya terkena gunting. Jamaah memang biasa membawa gunting tahallul di dalam tasnya. Semula tidak terduga lukanya serius, ini bukan sembarang luka. Luka Pak Sarwan ini kena pembuluh darahnya, darah mengalir terus dengan deras. Menetes tiada henti. Ada jemaah yang berbaik hati memberikan tisu untuk menutup luka, tapi tetep saja menetes dan menetes. Pak Sarwan kerepotan dengan lukanya, aku yang tak tahu tindakan medis yang tepat tentu saja ikut bingung. Untung ada petugas kebersihan yang menunjukkan dimana letak Health Center. Dengan menahan sakit dan darah yang terus menetes, Pak Sarwan berjalan menuju Health Center. Dan dengan bahasa isyarat dan bahasa Inggris alakadarnya, kucoba berkomunikasi dengan petugas kesehatan. Untuk tindakan medis, ternyata Health Center butuh ID berupa passport. Tanpa itu, mereka tidak bisa membuat laporan juga rekam medis. Aku post di group untuk menceritakan insiden ini.
Akhirnya, Health Center memberikan perban sementara di jari Pak Sarwan. Perban yang besar. Besuk kembali lagi untuk kontrol, pesan perawatnya. Setelah itu kami balik ke hotel. Cuma perban yang diberikan ternyata tidak membuat darah berhenti mengalir. Merah darah tembus sampai keluar perban. Pak Sarwan tanpak khawatir. Kucoba browsing di google untuk menghentikan pendarahan seperti itu. "Oh, Pangkal jari perlu diikat tali yang kuat, Pak", Kami mencoba memberi ikatan seperti saran Mbah Google.



Foto saat periksa di Health Center

Agak miss komunikasi via WA. Ustadz suyanto ternyata menyusul ke Health Center membawakan passport, kami yang sudah ada di hotel akhirnya balik lagi ke Health Center, siapa tahu ada tindakan yang lebih baik untuk menghentikan pendarahan itu. Di lift kami ketemu jemaah Umroh lain yang mungkin seorang tenaga medis di Indonesia, blio memberi tahu bahwa untuk menghentikan darah seperti itu butuh alat khusus. Pikiran kami, dengan passport mungkin akan diberikan tindakan medis yang lebih lanjut.
Waktu sudah menjelang sholat isyak, Sampai di Health Center, ternyata kami masih cari-carian dengan ustadz Suyanto. Walah, dimana sih, Pak? Saat Ketemu dokter yang sama, dokter tersebut masih tetap meminta passport.  Tidak ada tindakan lain kalau tidak ada passport. Waduh! Pak Sarwan kuminta menunggu di loby Health Center, sementara aku pamitan sholat isya berjamaah dulu.  Selepas sholat isya, kami baru bertemu ustadz Suyanto membawa passportnya. Sayang sekali, dokter jaga sudah ganti. Dengan kemampuan bahasa Inggris yang sama sama minim. Dia bertanya sudah berapa hari lukanya? Pasien ini Lebih baik dirujuk ke rumah sakit King Abdul Aziz., Jeddah. Waduh! Entah bagaimana harus menjelaskan bahwa itu luka baru dan darah masih terus mengalir dalam bahasa arab. Gak papa, gak papa, ustadz Suyanto mencoba menenangkan. Pak Sarwan tampak masih kurang puas, ingin rasanya bertemu ustadz Razak yang bisa berkomunikasi dalam bahasa Arab sebagai penghubung. Akhirnya kami balik ke hotel.
Di tempat tidur, tangan Pak Sarwan harus dalam posisi lebih tinggi, ini untuk mencegah darah mengalir lebih banyak. Pak Sarwan bagaimanapun masih kepikiran dengan lukanya. Bagaimana kalau terus mengalir tanpa henti sampai kehabisan darah? Aku juga buta dengan masalah luka seperti itu.
Menjelang pagi, Pak Sarwan mengatakan tangannya belum berhenti mengalirkan darah. Sprei hotel sampai kena bercak darah dari jari Pak Sarwan yang sudah di perban tebal. “OK, Pak. Kita pinjam passport lagi,  kita ke Health Center, bukankah kemarin suruh balik lagi jika darah terus mengalir?” Pagi itu menjelang subuh, kami menuju ke Health Center, setelah mendapatkan passport dari ustadz suyanto. Kutulis dalam bahasa inggris tentang kondisi jari yang masih mengalirkan darah. “Yesterday dr said if the wound still bleeding, we should come here again”  Sampai di Health Center kami disuruh ketemu dengan manajer rumah sakit di ruangannya. Setelah diperiksa sebentar, manajer tersebut meyakinkan diriku bahwa kondisi sudah lumayan mampet, tidak apa apa, tidak perlu panik. Tidak perlu diganti perbannya.  Justru nanti kalau dibuka akan membuat darah mengalir lagi. Penjelasan dokter itu membuatku lega. Masuk akal. Kuyakinkan Pak Sarwan kalau lukanya sudah agak mampet dan perbannya tidak usah dibuka, walau agak risih, tidak usah diganti dulu. Fiuh, akhirnya lega juga.

Adzan subuh bergema, kami menuju Masjidil Haram dan sholat subuh dengan mencari tempat yang berkarpet dan agak longgar.

Btw, Pak Sarwan ini kakinya bisa pecah-pecah dan katanya terasa perih. Pada bubaran sholat yang padat, berjalan harus hati hati, jika tersandung-sandung kaki jemaah lain, rasanya semakin perih. Kurang tahu apa sebabnya. Entah karena cuaca yang tidak cocok, entah karena tidak biasa berjalan kaki, entah faktor usia. Untuk itu perlu bagi jemaah Umroh mempersiapkan keadaan seperti itu dengan membawa obat obatan dari tanah air.


Selepas subuh pagi itu, kami langsung pulang ke hotel. Ada hal lain yang aku perhatikan saat bubaran shalat fardhu, khususnya subuh. Yakni adanya pedagang pedagang yang menggelar dagangannya dengan lapak kain yang digelar di tengah jalan. Cuma ternyata pedagang ini harus kucing kucingan dengan petugas polisi yang patroli. Jika ada patroli polisi, mereka langsung meraup dagangan dan lari menghindar.

Kami makan pagi dan bersiap untuk city tour kota Mekkah. Ngomong-ngomong tentang makan di hotel, disini modelnya adalah  prasmanan alias jemaah mengambil sendiri menu yang tersedia di meja. Menunya bermacam macam. Biasanya lengkap ada sayur, lauk, buah, juga kue kue.
Sama-sama bentuk menunya, tapi rasanya kadang beda. Jika melihat mie kuah, jangan berharap rasanya kaya mie jawa. Lebih baik icipin sedikit makanannya, kalau cocok baru ambil secukupnya. Ada banyak kulihat piring dengan mie kuah masih tersisa di meja karena ternyata rasanya tidak seperti yang diharapkan. Agak manis gimana gitu, katanya.  Soalnya aku sendiri belum mencicipi. Hahaha.
Yang agak beda jika dibandingkan makan prasmanan di hotel Madinah adalah ketersediaan piring/gelas. Di hotel Madinah banyak tersedia gelas plastik dan piring kertas disamping piring/gelas biasa sehingga jemaah tidak kekurangan. Di hotel Mekkah yang kutempati ini gelas dan piring yang tersedia hanyalah gelas/piring kaca, dan jumlahnya terbatas. Ini membuat jemaah sering kekurangan gelas/piring. Jika jemaah yang kehabisan persediaan gelas/pring hanya menunggu saja sampai gelas dicuci oleh karyawan restaurant, tentu akan lama menunggu tak tentu waktunya. Mending ambil sendiri piring atau gelas yang sudah terpakai (cari yang tidak terlalu kotor) , terus cuci di wastafel di ruang toilet pojok. Ini lebih cepat dan nyaman.

Tentu saja ini hanya perbedaan antara Hotel Concorde dan Hotel Azka Al Safa. tiap hotel pasti beda-beda pelayanannya, tergantung bintangnya juga, sih. Tidak bisa digeneralisasi hotel di Madinah vs hotel di Mekkah


City Tour Mekah
Bus besar menanti di pinggir jalan. Berjajar jajar. Pagi itu sepertinya  jemaah dari biro perjalanan lain juga punya agenda yang sama. City tour kota Mekkah. Tempat tempat yang dikunjungi adalah tempat-tempat yang digunakan dalam ibadah haji. Yaitu tempat wukuf di Arafah, bermalam di Mina. Juga tempat melempar jumroh. Tempat ini penting diketahui bagi jemaah Umroh terutama yang belum pernah beribadah haji. Bila suatu saat bisa menjalankan ibadah haji, tentu bisa mendapatkan gambaran lebih jelas. Dan tujuan terakhir dari city tour ini adalah masjid Aisyah di tan'im untuk mengambil miqot.

Peran muthowif dalam city tour ini sangat besar. Dari muthowif inilah kami mendapat penjelasan tempat tempat yang dikunjungi tersebut.

Tempat wukuf merupakan padang yang luas, dan sekarang sudah banyak ditanam pohon pohon. Sehingga tempat tersebut tidak terlalu panas. Juga ada instalasi air menuju tiang tiang yang bisa menyemprotkan air untuk membuat hujan buatan.  Di dekat tempat wukuf ini ada gunung namanya Jabal Rahmah. Konon Nabi Adam dan Hawa bertemu setelah berpisah berpuluh tahun lamanya di Gunung ini. Puncak Jabal Rahmah tidak terlalu tinggi, hanya beberapa menit mendaki, jemaah sudah bisa mencapai puncak

Ada toilet di area ini, tapi kondisinya waktu itu tidak begitu bersih. Untuk ganti pakaian ihram, sebaiknya nanti setelah berada di masjid Aisyah. Disini cukup mengambil air wudhu saja. Di masjid Aisyah juga bisa, sih, wudhunya.  tapi antri. Kutulis ini untuk jamaah umroh lain yang mungkin memiliki rute city tour yang sama, sehingga bisa mengambil pelajaran dari pengalaman yang ada.

Dalam perjalanan ke masjid, kami dilewatkan kota Mina tempat tenda tenda dimana jemaah haji bermalam. Dari atas bus, kami bisa melihat dengan jelas banyak sekali tenda tenda di Mina ini. Sejauh mata memandang tampak atap atap putih dari tenda tenda ini. Tenda tenda ini sudah permanen, di atap bawah tenda sudah dipasang AC. Kain penutup tenda bagian bawah dibuka, sehingga kelihatan tiang tiangnya.

Sampai di masjid Aisyah, kami langsung sholat tahiyatul masjid dan sholat sunat ihrom. Jemaah yang belum memakai ihrom bisa berganti pakaian ihrom di masjid ini.

Untuk Umroh yang kedua ini, jemaah bisa meng’umrohkan’ orang lain yang telah meninggal. Aku sendiri berniat mengumrohkan kakakku, Silachuddin, kakak paling mbarep di keluargaku, meninggal saat masih kuliah di semester 3, saat itu aku masih MTs, Madrasah Tsanawiyah setara SMP. Kakak meninggal saat usia masih muda, masih berproses dengan jalan hidupnya. Sama sih, aku sendiri juga terus berproses, tapi kakakku ini masih sangat muda.  Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, mendapat tempat terbaik di sisiNya. Amin.

Jika dibandingkan dengan Umroh pertama, di Umroh kedua ini tempat miqot lebih dekat, tetapi waktunya siang, jemaah yang memang tidak kuat untuk menyelesaikan Umroh baiknya mundur saja. Karena sekali sudah berniat Umroh, harus bisa menyelesaikan sampai akhir atau terkena Dam.

Setelah kumpul di bus, muthowif memimpin kami melafalkan niat, tanda kami sudah masuk ke ritual Umroh.

Dari Masjid Aisyah ini kami tidak langsung menuju Masjidil Haram, rencananya thowaf dan sai dilaksanakan setelah sholat dhuhur dan makan siang di Hotel. Hotel Azka memiliki ruang untuk sholat yang luas. Letaknya persis di atas lantai restorant. Di tombol lift ditandai dengan singkatan PR (Pray Room).

Kami dari 3 hotel yang berbeda akhirnya bisa kumpul di pelataran Masjidil Haram dibawah tower sekira jam 14.00 waktu Arab. Disini ashar sekitar pukul 16.00 WAS (Waktu Arab Saudi)  masih ada waktu 2 jam an untuk melakukan thowaf dan sai.

Seperti umroh pertama, muthowif kami, Ustadz Razak dan ustadz Rais, memandu kami membaca doa doa Umroh, suaranya cukup lantang, sayang kadang tenggelam di tengah riuhnya jemaah di Masjidil Haram. sehingga jemaah yang kurang hafal doa kadang tidak bisa mengikuti. Untuk itu mungkin muthowif perlu alat seperti yang digunakan oleh jemaah lain yang kami lihat saat thowaf. Kami melihat jemaah dari biro lain sudah memakai alat komunikasi untuk membantu muthowif memandu jemaahnya. Muthowif menggunakan semacam alat pemancar suara yang menggunakan gelombang bluthooth atau radio yang dalam radius tertentu bisa ditangkap oleh alat penerima kecil yang bisa ditempel di telinga jemaah. Hal ini mungkin bisa menjadi masukan bagi biro yang belum menggunakan alat tersebut.

Walau panas terik, tapi lantai pelataran Ka'bah ini tetap dingin, sehingga kaki jemaah tidak kepanasan. Kabarnya ada sistem pendingin di bawah lantai pelataran Ka'bah ini, cuma dari googling informasi lain di internet, kabar tersebut ternyata tidak benar. Menurut berita yang kubaca, hal itu sejatinya karena lantai pelataran Ka'bah ini adalah marmer kualitas tinggi dari Yunani yang disebut marmer thassos.  Marmer tersebut bisa memantulkan cahaya matahari dan meredam hawa panas sepanjang hari.

Setelah thowaf dan sholat sunnah thowaf dua rekaat, kami berdoa dipimpin oleh Ustadz Suyanto. Selanjutnya minum air zam-zam dan tak lupa berdoa sebelum meminumnya. Kami lebih lancar melakukan ritual ini karena sudah pernah melakukan sebelumnya.

Setelah itu kami menuju tempat untuk sai. Ketahanan fisik memang dibutuhkan untuk ritual ini, mengingat jarak total yang dibutuhkan untuk menyelesaikan 7 putaran adalah 7 x 394,5 m = 2,761 km. Itu angka jarak total sai, Jika ditambah jarak 7 putaran thowaf sebelumnya, tentu saja  bisa dua kali bahkan tiga kali lebih jauh tergantung jalur mana yang dipakai untuk thowaf. Namanya putaran melingkar, semakin jauh dari titik pusat Ka'bah, semakin jauh jaraknya.

Alhamdulillah, kami bisa menyelesaikan Umroh kedua dengan lancar. Kami bertahallul.  muthowif tidak membawa gunting kali ini, tapi membawa pisau/silet cukur. Itu karena kebanyakan kami sudah gundul plontos tak punya rambut.


Kontributor