Senin, Juni 30, 2008

AboutMe

Saya dilahirkan dengan nama Sochibulbasri (baca: Sohibulbasri). CH di tengah merupakan transliterasi huruf arab ( ح ) yang bunyinya mirip H. Sengaja ditulis masih dengan ejaan lama karena huruf tersebut di masa itu umum dipakai. Di samping itu menurut transliterasi arab – latin yang ada tidak terdapat huruf biasa yang mewakili konsonan tersebut. Dalam pedoman transliterasi, huruf tersebut diwakili dengan h (h bergaris bawah, h sendiri untuk huruf arab [ ﻫ]). Jadi, tambah lucu aja kalau nama saya selalu ditulis, sohib. :-).
Nama ini terbentuk dari dua kata : Sochib dan Basri. Nama depan saya Sochib dan nama belakang saya Basri. Eits, bukan seperti itu, di KTP nama saya tertulis Sochib saja, Basri adalah nama untuk saudara kembar saya. Ya, saya terlahir kembar.
Dengan tidak bermaksud mengubah arti pemberian nama, dan juga tidak ingin memiliki nama pemberian orang tua itu sendirian, maka di era internet ini, dimana setiap register mengharuskan pengisian nama depan (first name) dan nama belakang (last name) , saya sering mengisikan nama belakang dengan albashara, dimana saya anggap dan saya maksudkan memiliki arti sama dengan Sochibulbasri. (maksudnya kira-kira sebuah doa semoga yang diberi nama akan ”memiliki penglihatan/pandangan/view batin”). Saya juga pernah diberitahu orang tua tentang uniknya nama itu bagi anak kembar. Kalau dipikir kadang membingungkan. Orang yang melihat saya sendirian tanpa saudara saya, maka orang bisa mengartikan sochib itu yang memiliki basri, tapi kalau orang melihat saudara kembar saya si Basri, maka orang akan mengartikan Basri itu temannya Sochib. Bukankah kata Sochib sendiri juga bisa diartikan dengan sahabat? Bingungkan?
Cukup bahas namanya. 

Asal saya dari daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, tepatnya di Desa Tempursari, Tambakboyo, Mantingan, Ngawi. Suatu desa yang menurut ingatan masa kecil saya tergambar indah seperti dalam lukisan. Saya masih melihat pencari kayu hutan yang melewati jalan desa untuk membawa kayunya ke pasar. Mandi di sungai yang masih mengalir jernih, berjemur di batu-batu kecil pinggiran sungai, Sayang sekarang sungainya sudah tidak seperti dulu, tidak terlihat lagi kerikil sungai atau aliran air yang jernih, semua sudah habis diambil untuk keperluan material bangunan. Apakah memang dunia ini cenderung semakin rusak? lalu apa jadinya di dunia ini tahun 2020 nanti? tahun-tahun selanjutnya? Sebuah pertanyaan yang mengerikan untuk dipikirkan. (sekarang, saya suka merindukan Gunung Lawu meletus lagi, seperti halnya Gunung Merapi di Yogyakarta yang rajin meletus setiap empat tahunan sekali (tapi meletus tanpa korban jiwa tentunya :)), sehingga material vulkanik seperti batu-batu dan kerikil sungai akan ada lagi menghiasi sungai-sungai yang berhulu di gunung tersebut, termasuk sungai dekat rumahku itu).
Bicara tentang budaya masyarakatnya, saya bukan ahlinya, yang saya tahu saya mengikuti tradisi-tradisi yang ada di desa. Pengajian, Tahlilan, Berjanjen (membaca Kitab Al-Barzanzi), dan silaturahmi di masa lebaran. Ya, bisa dikatakan budaya Islam Tradisional dan saya suka itu. Waktu lebaran budaya saling berkunjung dari rumah ke rumah masih kental, bahkan cenderung makin ramai. Saya bisa berdiri selama 15 menit hanya untuk berjabat tangan pada barisan tamu yang datang dari kampung sebelah. Datang, jabat tangan dan langsung menuju rumah selanjutnya untuk sekedar berjabat dan bersapa, tidak sempat duduk-duduk dan mengobrol karena tempatnya tidak akan muat…

Bidang Pendidikan, sekolah dasar saya tempuh di SDN Gondang I, kemudian masuk ke MTs Tempursari. Ini sekolah di desaku sendiri. diteruskan ke SMA Al-Islam I Surakarta. Selepasnya, saya mengikuti UMPTN tahun 1994, dan diterima di Fakultas Farmasi UGM. Tapi di fakultas ini saya merasa tidak cocok, mungkin kapasitas otakku hanya pas-pasan untuk bidang hapalan, hingga akhirnya saya memutuskan ikut UMPTN lagi tahun 1995 untuk pindah jurusan. Alhamdulillah, saya lolos juga masuk ke Teknik Elektro UGM. Berada di Fakultas ini akhirnya saya semakin yakin, otakku tidak hanya pas-pasan untuk bidang hapalan, tapi juga untuk hitung-hitungan! he..he.he cape deh..

Kini saya tinggal di Yogyakarta bersama istri, Windadari Murni H. Ketika saya tulis ini anak pertama saya sudah berumur 1 ½ bulan dalam kandungan. Saya berharap anak saya nanti lahir normal, bisa hidup di dunia ini dengan benar, bisa menemukan dirinya dan bahagia dengan hidupnya. Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kontributor