Senin, Maret 27, 2017

Catatan Ibadah Umroh II (di Mekkah)

Catatan ini merupakan kelanjutan Catatan Ibadah Umroh I (di Madinah) yang aku tulis sebelumnya. Kini akan aku ceritakan ibadah Umroh saat di Mekkah secara kronologis seperti catatan pertama.

Rukun Umroh yang pertama adalah ihrom. Ditandai dengan memakai pakaian ihrom, yaitu pakaian yang terdiri dari dua helai kain tidak berjahit dan dipakainya sejak di miqot. Miqot adalah batas tempat atau waktu dimana peziarah harus memakai pakaian tersebut. Miqot tempat untuk orang-orang yang datang dari Madinah adalah di Masjid Abyar Ali. Dari Masjid Nabawi jaraknya sekitar 20 km atau 20 menit perjalanan bus.

Kami sampai ke Masjid Abyar Ali masih di siang yang terik, menyilaukan mata. Rekomendasi dari biro untuk membawa kacamata hitam mungkin untuk menghadapi cahaya Matahari seperti ini. Masjidnya ramai, di halaman banyak terparkir bus-bus berisi jemaah dari berbagai negara. Semua yang datang ke masjid ini terlihat sudah memakai pakaian ihrom. Sepertinya memang semua yang datang ke masjid ini dalam rangka keperluan yang sama, mengambil miqot untuk ibadah Umroh. Kami yang sudah siap dengan pakaian ihrom langsung sholat tahiyatul masjid dan sholat sunnat ihrom dua rekaat. Sesudah itu langsung  berkumpul lagi di dalam bus untuk segera berangkat ke kota Mekkah.


Persis ketika akan berangkat meninggalkan area masjid ini, kami dipimpin oleh Muthowif melafalkan niat Umroh bersama-sama. “Labbaik Allahuma umrotan”. Sejak itu, kami semua berada dalam keadaan ihrom. Rukun Umroh pertama sudah dimulai. Larangan-larangan dalam ihrom mulai berlaku. Labbaik allahumma labbaik, aku datang memenuhi panggilanmu ya Allah.


Jaman dulu jaman nabi, kata Muthowif, perjalanan memakai unta dari Madinah menuju Mekkah memakan waktu selama 13 hari 13 malam. Banyak hal bisa terjadi selama waktu itu. Karena itulah banyak larangan saat ihrom jaman dulu yang terasa janggal jika diterapkan sekarang. Larangan menikah dan menikahkan misalnya, pasti aneh akan terjadi pernikahan dalam perjalanan yang hanya makan waktu 5 jam dan kebanyakan dipakai tidur di bus. Larangan berburu binatang juga aneh. Binatang apa yang mau diburu? Juga buat apa? Larangan yang perlu diwaspadai di jaman sekarang adalah kalau kelupaan masih memakai CD (Celana Dalam, kain berjahit) atau kalau tidak sengaja mencabut bulu badan. Entah gara gara ‘ngupil’ atau garuk garuk karena gatal. Salah salah bisa terkena Dam atau Denda. Dan dendanya tidak main main, Satu ekor kambing atau kurang lebih 2 juta rupiah.


Di dalam bus, aku duduk di deretan kursi paling depan. Bisa ku pilih, karena saat masuk ke bus waktu berangkat tadi masuknya paling pertama dibanding jemaah lain. Pandangan lebih luas ke kiri-kanan. Saat ada sesuatu yang menarik, aku bisa memotret baik dari kamera hape maupun kamera saku yang kubawa. Muthowif menjelaskan kembali tentang manasik Umroh. Di perjalanan menuju Baitullah, kami disunatkan untuk banyak-banyak bertalbiyah. Labbaik Allahumma Labbaik.



Hari beranjak sore, Matahari mulai terbenam. Dari atas bus, aku dapat menikmati sunset di daerah gurun ini. Suasana sore temaram yang indah perlahan lahan berganti menjadi keremangan maghrib. Langit jingga keemasan di ufuk barat, tampak menjadi background jajaran gedung gedung modern bertingkat di kejauhan. Terkadang, panorama gunung batu menyeruak seiring bus melewati lerengnya yang sudah digempur menjadi jalan lurus lebar beraspal ini. Sungguh, sebuah pemandamgan yang tak terlupakan.

Setelah bertemu sebuah masjid di pinggir jalan, kami berhenti untuk melaksanakan sholat Maghrib dan sholat Isyak yang dijamak, juga ke toilet bagi yang ingin buang air kecil. Kota Mekkah masih jauh, kira kira 3,5 jam perjalanan lagi. Rencana setelah sampai di kota Mekkah nanti, jemaah langsung menuju Masjidil Haram untuk bersama sama melaksanakan thowaf, yaitu memutari Ka'bah sebanyak tujuh kali, dilanjutkan sai. Karenanya, jemaah dianjurkan untuk bisa istirahat selama dalam perjalanan.


Saat mulai masuk kota Mekkah, muthowif membangunkan kami. Jam menunjukkan pukul 9.30 WAS (Waktu Arab Saudi). Kembali jemaah bersama-sama bertalbiyah. Labbaik Allahumma labbaik. Kami melewati sebuah masjid yang merupakan miqot bagi orang orang yang tinggal di Mekkah. Namanya masjid  Aisyah. Letaknya kira-kira 7 km di utara Masjidl Haram. Besuk waktu Umroh yang kedua, kata muthowwif, miqotnya diambil dari masjid  tersebut.

Rombongan jemaah Umroh dalam bus ini terbagi dalam 3 hotel tempat menginap. Jadi bus harus mengantar ke masing masing hotel. Aku bersama beberapa yang lain termasuk ibu dan kakak mendapat hotel dalam urutan terakhir. Kami sepakat untuk kumpul di halaman Masjidil Haram di jam 11 malam.

Kuperhatikan kota Mekkah ini berbeda sekali dengan kota Madinah yang luas dan tenang. Lalu lintas disini lebih padat, Banyak taksi berseliweran, kontur jalannya tidak rata, naik turun di daerah sekitar Masjidil Haram.


Hotel yang aku tenpati untuk menginap di Mekkah ini namanya hotel Azka Al Safa. Bersama 3 orang teman yang sama seperti di hotel Concorde Madinah, kami mendapat kamar di lantai 10 ruang nomer 1010. Berbeda dengan hotel-hotel yang ada di Madinah, lantai hotel di sini bisa lebih dari 14 tingkat. Terlihat tinggi menjulang. Transportasi antar lantai menggunakan lift yang berjajar kiri kanan hingga 10 buah. Yang membuat hotel ini tampak lebih berkelas dibanding hotel di Madinah yang aku tempati sebelumnya adalah sistem air di kamar mandinya yang memancar lebih kuat. Shower air lebih besar, dan penghisap udara di atas kamar mandi yang berfungsi bagus. Fasilitas dan ruangan juga terlihat lebih 'lux'. Setelah meletakkan tas bawaan dalam kamar, kami segera turun kembali ke lobby untuk bareng bareng menuju Masjidil Haram. Meskipun capek dari perjalanan jauh, jangan sampai mandi menyegarkan badan di kamar mandi hotel, jemaah masih dalam keadaan ihrom, larangan memakai wangi wangian terus berlaku. (sabun mandi/pasta gigi mengandung wangi wangian).



di lobby hotel Azka Al Safa dengan pakaian ihrom, sudah siap berthowaf

Waktu yang disepakati molor, ini karena hotel kami yang berlainan dan saling berjauhan. Ada satu rencana yang meleset disini, yaitu makan malam yang dijadwalkan di hotel ternyata gagal karena sudah telat waktunya. Restoran sudah tutup. Bagiku tidak masalah, tapi bagi jemaah yang memang lapar, bagusnya membeli roti atau makanan buat pengganjal perut, mengingat thowaf dan sai perlu mengeluarkan energi yang lumayan. Atau Ini mungkin perlu diantisipasi oleh biro perjalanan jika hal ini terjadi bagaimana supaya jemaah tidak dalam perut kosong waktu menjalani Thowaf dan Sai.

Akhirnya jemaah semua  bisa berkumpul bersama di halaman Masjidil Haram, di bawah tower jam besar (Makkah Royal Clock Tower)

Inilah saat yang dinanti nanti. Sebentar lagi kami semua mengunjungi Ka'bah, Baitullah, tempat yang disucikan ummat Islam di seluruh dunia.


Di depan pintu gerbang, kami berhenti sebentar. muthowif memimpin doa masuk Masjidil Haram, Allahumma Antas salam, wa minKas salam, wa ilaiKa ya'udus salam.  Kami semua menirukan dengan khidmat, kami datang kesini berharap bisa menyelami nilai nilai spiritual dari millah Nabi Ibrahim ini. Aku mencoba menghayati kata-kata Muthowif dan semoga tidak ada pikiran negatif yang membuat rusak ibadahku sendiri. Perlahan namun pasti, kami berjalan menuju Ka'bah. Air Mata ingin tumpah di momen ini. Tak terkatakan. Muthowif memandu dari arah mana seharusnya kami masuk. Dengan menggunakan lift, kami turun ke pelataran yang paling bawah. Pelataran dimana Ka'bah terletak. Melihat Ka'bah pertama kali merupakan pengalaman personal, berbeda bagi tiap tiap orang.  Akhirnya pada suatu masa dalam hidupku ini, aku diberi kesempatan juga mengunjungi Baitullah. Satu tempat yang sejak kecil selalu aku dengar ceritanya. Apalah aku? Aku berharap pikiranku yang tak pernah berhenti berputar ini selalu memikirkan sesuatu yang positif. Aku mencintai semua manusia yang berada disini, aku bagian dari mereka, aku tidak ingin menyepelekan apapun yang ada di hadapanku ini. Kuputari Ka'bah dengan khusuk, seperti semua orang melakukannya disini. Bismillahi allahu akbar. Kulambaikan tanganku.


Selesai thowaf tujuh putaran, kami sholat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim. Satu tempat dimana dulu nabi Ibrahim berdiri saat membangun Ka'bah. Seperti dalam manasik, dua surat yang dibaca adalah surat Al Kafirun dan Al Ikhlas. Setelah selesai sholat kami masing-masing berdoa, kubaca lagi kertas catatan doa dari istri, kucoba membacanya dengan khusuk. Juga titipan doa dari teman-teman kupanjatkan di depan Baitullah ini.


Setelah itu, kami minum air zam-zam yang tersedia di area thowaf dengan tak lupa berdoa  seperti tuntunan manasik. Air zam-zam dimasukkan dalam galon-galon besar berjajar seperti yang ada di masjid Madinah. Tinggal menuang ke dalam gelas plastik yang tersedia dan meminumnya. Bayanganku dulu, prosesi ini lebih rumit dengan mengambil air dari sumur zam-zam.


Kemudian kami melanjutkan rukun Umroh berikutnya, yaitu sai, berjalan dan lari-lari kecil antara bukit Sofa dan Marwa. Malam semakin dingin, doa doa saat sai dipimpin langsung oleh Muthowif, jemaah tinggal menirukan. Pada putaran-putaran akhir pikiranku sedikit terganggu dengan kondisi ibu. Apakah ibu masih kuat menjalankan ibadah ini? Bagaimana kalau blio terus memaksakan diri sementara fisik sebenarnya tidak kuat?. Ibadah ini disamping selalu berdzikir dan berdoa, juga perlu kekuatan fisik.



Akhirnya kulihat ibu setelah selesai putaran ke 7 sepertinya kondisi masih baik baik saja, Alhamdulilah kami semua dapat menyelesaikan ritual Umroh ini. Semua lega dan bahagia. Satu persatu rambut dipotong oleh muthowif. Inilah yang dinamakan tahallul, menghalalkan yang sebelumnya diharamkan saat ihrom. Kami bersalaman, bermaaf maafan di puncak bukit Marwa.


Bersama kakak dan ibu, diambil sehabis menyelesaikan ibadah Umroh.

Ngomong ngomong tentang bukit Shafa dan Marwa, ini bukan lagi bukit bebatuan yang terjal, keduanya sudah dibangun untuk kenyamanan peziarah, jalan sai maupun bukitnya sudah berbalut marmer. Di sepanjang jalan banyak kipas angin untuk sirkulasi udara. Hal ini membuat ritual sai bisa dilakukan kapan saja sepanjang waktu, tidak terganggu panas atau hujan. Juga tersedia air zam-zam di jalur sai. Memungkinkan peziarah bisa minum kalau memang kehausan ditengah perjalanan.

Kami mengambil foto dengan background Ka'bah, Setelah itu semua balik ke hotel, untuk istirahat dan Menunggu waktu subuh. Jarak Masjidil Haram ke hotel lumayan dekat, hanya sekitar 12 menit berjalan  kaki.

Di jalan menuju hotel bersama teman sekamar, kami membicarakan tentang niat potong botak atau plontos di barbershop pinggir jalan. Potong botak ternyata tidak dilakukan sesaat setelah selesai sai. Bayanganku dulu sebelum mengalami sendiri ibadah ini, sesaat setelah selesai sai, ada jasa potong botak langsung di tempatnya. Tidak, bukan seperti itu. Setelah selesai sai, rambut digunting minimal 3 helai sebagai tanda tahallul, kemudian balik dulu ke hotel untuk istirahat, setelah itu kalau menginginkan potong botak atau pendek di sekitaran hotel banyak terdapat kios kios yang menawarkan jasa potong rambut seperti halnya barbershop di Indonesia.
Mandi air hangat dengan shower besar di kamar hotel benar-benar membuat badan segar. Menjelang subuh pagi itu, badanku sudah siap berangkat kembali ke Masjidil Haram untuk sholat subuh berjamaah. Dua teman sekamar yang sudah berusia lumayan sepuh masih agak kelelahan, mereka pingin berangkat  lebih akhir ditemani Mas Antok, teman sekamar yang paling muda. Aku mendahului berangkat sendiri ke Masjid.
Sampai Masjidil Haram ternyata sudah banyak jemaah sholat subuh yang datang. Pintu Masjidil Haram tempat masuk yang semalam ditutup untuk menghindari ‘crowded’.  Jemaah dialihkan masuk dari pintu lain. Aku ikut memutar mengikuti arus, hingga akhirnya kudapatkan tangga masuk ke Masjidil Haram.  Tak terlihat Ka'bah dari tempatku sholat ini. Tapi shof sholat lebih longgar, tidak penuh berdempetan. Ini sholat fardhu pertama yang kulakukan di Masjidil Haram. Setelah sholat subuh, lumayan lama aku duduk duduk di Masjid sambil menunggu balsem menghangat di kakiku. Kakiku yang agak njarem selepas thowaf dan sai tadi pagi coba kuobati dengan balsem yang kubawa. Aku berharap tidak ada yang terganggu dengan bau balsem yang kupakai. Kupikir, ada baiknya jemaah Umroh siap siap juga membawa param kocok atau conterpin jika memiliki riwayat ‘njarem’ pada kakinya.
Cukup lama duduk di Masjid selepas subuh itu, tak terasa pagi sudah benderang. Aku kembali lagi ke hotel. Waktunya makan pagi. Di lobby hotel, aku bertemu Pak Sarwan, teman satu kamar. Pak Sarwan bercerita kalau ia sedang bersama orang tua yang tersesat dari rombongan. Kalau kuhitung, ini kali ketiga aku ketemu orang tersesat tidak tahu jalan pulang selama ibadah Umroh. Untuk itu penting memang bagi jemaah Umroh khususnya lansia untuk selalu membawa kartu identitas yang menyimpan informasi : nama,  hotel tempat menginap dan nomer telpon ustadz pemandunya.
Potong botak disini alatnya cuma pisau lipat yang tajam dan sekali pakai dibuang. Prosesnya pertama rambut dibasahi dan diberi semacam busa pelicin. Dengan tangan profesional, dalam waktu 10 menit, kepala sudah bersih tanpa rambut. Tarifnya 10 riyal, tertulis di papan. Namun di kios kios belakang, bukan di pinggir jalan, tarifnya bisa ditawar separuhnya, 5 riyal.
Mengapa banyak jemaah Umroh sering potong botak? Ini karena menurut Nabi Muhammad SAW lebih utama. Bagiku sendiri alasannya ditambah. Karena botak jelas menyehatkan kulit kepalaku yang sering ketombean. Disamping itu juga :  isis (jawa: sensasi dingin di kulit kepala karena kena angin). Hehehe.
Hari Sabtu menurut agenda tidak ada kegiatan selain ke Masjidil Haram. Aku sendiri setelah potong plontos berusaha merebahkan badan untuk istirahat. Besuk acaranya city tour Mekkah, mengunjungi tempat-tempat yang dipakai dalam ibadah haji seperti tempat wukuf di Arrafah, tempat bermalam di Mina juga tempat lempar jumroh dan terakhir bagi yang berniat Umroh kedua, sekalian membawa kain ihrom untuk ambil miqot di masjid Aisyah.
Mumpung di Mekkah, sebisa mungkin maksimalkan beribadah di Masjidil Haram. Siangnya aku mencoba untuk mendekati Ka'bah. Panas matahari ternyata menyilaukan di pelataran Ka'bah yang bermarmer putih. Kacamata hitam lupa kubawa. Setelah sholat dua rekaat aku mencari tenpat duduk di tempat yang agak terlindung cahaya matahari, mencoba berdzikir, merenung, di tempat yang sangat spesial, bersama orang orang dari penjuru dunia. Ini aku, setitik debu di alam raya ini mencoba mendekatiMu. Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah, wa qina adzabannar..
Selepas sholat dhuhur, aku balik hotel. Baru kuketahui betapa ramainya jalanan saat persis bubaran sholat fardhu. Jalanan dipenuhi jemaah yang mau balik ke hotel, seperti lebah beterbangan ke luar dari sarangnya. Taksi taksi berseliweran untuk mengantar jemaah ke hotel hotel yang lebih jauh. Petugas kebersihan berdiri pasif berharap sedekah dari jemaah. Petugas kebersihan ini memang tidak terlihat aktif meminta sedekah, tapi dari ‘gesture’ maupun sorot matanya, kelihatan jelas mereka berharap ada sedekah dari para jemaah.
Insiden Pak Sarwan terluka jari tangannya karena kena gunting.
Dua teman kamarku sudah lumayan sepuh, namanya hampir mirip. Pak Sarwono dan Pak Sarwan. Pak Sarwono sering bersama keponakannya, Mas Antok. Sedang Pak Sarwan sering bersamaku. Maghrib ini aku bersama Pak Sarwan bareng ke Masjidil Haram.
Bersama teman satu kamar. Mas Antok (Kurniawan Dwi Putranto) , penulis, Pak Sarwan, Pak Sarwono.
Alkisah saat Pak Sarwan merogoh tas mau mengambil botol untuk diisi air zam-zam, tak sengaja salah satu jari tangannya terkena gunting. Jamaah memang biasa membawa gunting tahallul di dalam tasnya. Semula tidak terduga lukanya serius, ini bukan sembarang luka. Luka Pak Sarwan ini kena pembuluh darahnya, darah mengalir terus dengan deras. Menetes tiada henti. Ada jemaah yang berbaik hati memberikan tisu untuk menutup luka, tapi tetep saja menetes dan menetes. Pak Sarwan kerepotan dengan lukanya, aku yang tak tahu tindakan medis yang tepat tentu saja ikut bingung. Untung ada petugas kebersihan yang menunjukkan dimana letak Health Center. Dengan menahan sakit dan darah yang terus menetes, Pak Sarwan berjalan menuju Health Center. Dan dengan bahasa isyarat dan bahasa Inggris alakadarnya, kucoba berkomunikasi dengan petugas kesehatan. Untuk tindakan medis, ternyata Health Center butuh ID berupa passport. Tanpa itu, mereka tidak bisa membuat laporan juga rekam medis. Aku post di group untuk menceritakan insiden ini.
Akhirnya, Health Center memberikan perban sementara di jari Pak Sarwan. Perban yang besar. Besuk kembali lagi untuk kontrol, pesan perawatnya. Setelah itu kami balik ke hotel. Cuma perban yang diberikan ternyata tidak membuat darah berhenti mengalir. Merah darah tembus sampai keluar perban. Pak Sarwan tanpak khawatir. Kucoba browsing di google untuk menghentikan pendarahan seperti itu. "Oh, Pangkal jari perlu diikat tali yang kuat, Pak", Kami mencoba memberi ikatan seperti saran Mbah Google.



Foto saat periksa di Health Center

Agak miss komunikasi via WA. Ustadz suyanto ternyata menyusul ke Health Center membawakan passport, kami yang sudah ada di hotel akhirnya balik lagi ke Health Center, siapa tahu ada tindakan yang lebih baik untuk menghentikan pendarahan itu. Di lift kami ketemu jemaah Umroh lain yang mungkin seorang tenaga medis di Indonesia, blio memberi tahu bahwa untuk menghentikan darah seperti itu butuh alat khusus. Pikiran kami, dengan passport mungkin akan diberikan tindakan medis yang lebih lanjut.
Waktu sudah menjelang sholat isyak, Sampai di Health Center, ternyata kami masih cari-carian dengan ustadz Suyanto. Walah, dimana sih, Pak? Saat Ketemu dokter yang sama, dokter tersebut masih tetap meminta passport.  Tidak ada tindakan lain kalau tidak ada passport. Waduh! Pak Sarwan kuminta menunggu di loby Health Center, sementara aku pamitan sholat isya berjamaah dulu.  Selepas sholat isya, kami baru bertemu ustadz Suyanto membawa passportnya. Sayang sekali, dokter jaga sudah ganti. Dengan kemampuan bahasa Inggris yang sama sama minim. Dia bertanya sudah berapa hari lukanya? Pasien ini Lebih baik dirujuk ke rumah sakit King Abdul Aziz., Jeddah. Waduh! Entah bagaimana harus menjelaskan bahwa itu luka baru dan darah masih terus mengalir dalam bahasa arab. Gak papa, gak papa, ustadz Suyanto mencoba menenangkan. Pak Sarwan tampak masih kurang puas, ingin rasanya bertemu ustadz Razak yang bisa berkomunikasi dalam bahasa Arab sebagai penghubung. Akhirnya kami balik ke hotel.
Di tempat tidur, tangan Pak Sarwan harus dalam posisi lebih tinggi, ini untuk mencegah darah mengalir lebih banyak. Pak Sarwan bagaimanapun masih kepikiran dengan lukanya. Bagaimana kalau terus mengalir tanpa henti sampai kehabisan darah? Aku juga buta dengan masalah luka seperti itu.
Menjelang pagi, Pak Sarwan mengatakan tangannya belum berhenti mengalirkan darah. Sprei hotel sampai kena bercak darah dari jari Pak Sarwan yang sudah di perban tebal. “OK, Pak. Kita pinjam passport lagi,  kita ke Health Center, bukankah kemarin suruh balik lagi jika darah terus mengalir?” Pagi itu menjelang subuh, kami menuju ke Health Center, setelah mendapatkan passport dari ustadz suyanto. Kutulis dalam bahasa inggris tentang kondisi jari yang masih mengalirkan darah. “Yesterday dr said if the wound still bleeding, we should come here again”  Sampai di Health Center kami disuruh ketemu dengan manajer rumah sakit di ruangannya. Setelah diperiksa sebentar, manajer tersebut meyakinkan diriku bahwa kondisi sudah lumayan mampet, tidak apa apa, tidak perlu panik. Tidak perlu diganti perbannya.  Justru nanti kalau dibuka akan membuat darah mengalir lagi. Penjelasan dokter itu membuatku lega. Masuk akal. Kuyakinkan Pak Sarwan kalau lukanya sudah agak mampet dan perbannya tidak usah dibuka, walau agak risih, tidak usah diganti dulu. Fiuh, akhirnya lega juga.

Adzan subuh bergema, kami menuju Masjidil Haram dan sholat subuh dengan mencari tempat yang berkarpet dan agak longgar.

Btw, Pak Sarwan ini kakinya bisa pecah-pecah dan katanya terasa perih. Pada bubaran sholat yang padat, berjalan harus hati hati, jika tersandung-sandung kaki jemaah lain, rasanya semakin perih. Kurang tahu apa sebabnya. Entah karena cuaca yang tidak cocok, entah karena tidak biasa berjalan kaki, entah faktor usia. Untuk itu perlu bagi jemaah Umroh mempersiapkan keadaan seperti itu dengan membawa obat obatan dari tanah air.


Selepas subuh pagi itu, kami langsung pulang ke hotel. Ada hal lain yang aku perhatikan saat bubaran shalat fardhu, khususnya subuh. Yakni adanya pedagang pedagang yang menggelar dagangannya dengan lapak kain yang digelar di tengah jalan. Cuma ternyata pedagang ini harus kucing kucingan dengan petugas polisi yang patroli. Jika ada patroli polisi, mereka langsung meraup dagangan dan lari menghindar.

Kami makan pagi dan bersiap untuk city tour kota Mekkah. Ngomong-ngomong tentang makan di hotel, disini modelnya adalah  prasmanan alias jemaah mengambil sendiri menu yang tersedia di meja. Menunya bermacam macam. Biasanya lengkap ada sayur, lauk, buah, juga kue kue.
Sama-sama bentuk menunya, tapi rasanya kadang beda. Jika melihat mie kuah, jangan berharap rasanya kaya mie jawa. Lebih baik icipin sedikit makanannya, kalau cocok baru ambil secukupnya. Ada banyak kulihat piring dengan mie kuah masih tersisa di meja karena ternyata rasanya tidak seperti yang diharapkan. Agak manis gimana gitu, katanya.  Soalnya aku sendiri belum mencicipi. Hahaha.
Yang agak beda jika dibandingkan makan prasmanan di hotel Madinah adalah ketersediaan piring/gelas. Di hotel Madinah banyak tersedia gelas plastik dan piring kertas disamping piring/gelas biasa sehingga jemaah tidak kekurangan. Di hotel Mekkah yang kutempati ini gelas dan piring yang tersedia hanyalah gelas/piring kaca, dan jumlahnya terbatas. Ini membuat jemaah sering kekurangan gelas/piring. Jika jemaah yang kehabisan persediaan gelas/pring hanya menunggu saja sampai gelas dicuci oleh karyawan restaurant, tentu akan lama menunggu tak tentu waktunya. Mending ambil sendiri piring atau gelas yang sudah terpakai (cari yang tidak terlalu kotor) , terus cuci di wastafel di ruang toilet pojok. Ini lebih cepat dan nyaman.

Tentu saja ini hanya perbedaan antara Hotel Concorde dan Hotel Azka Al Safa. tiap hotel pasti beda-beda pelayanannya, tergantung bintangnya juga, sih. Tidak bisa digeneralisasi hotel di Madinah vs hotel di Mekkah


City Tour Mekah
Bus besar menanti di pinggir jalan. Berjajar jajar. Pagi itu sepertinya  jemaah dari biro perjalanan lain juga punya agenda yang sama. City tour kota Mekkah. Tempat tempat yang dikunjungi adalah tempat-tempat yang digunakan dalam ibadah haji. Yaitu tempat wukuf di Arafah, bermalam di Mina. Juga tempat melempar jumroh. Tempat ini penting diketahui bagi jemaah Umroh terutama yang belum pernah beribadah haji. Bila suatu saat bisa menjalankan ibadah haji, tentu bisa mendapatkan gambaran lebih jelas. Dan tujuan terakhir dari city tour ini adalah masjid Aisyah di tan'im untuk mengambil miqot.

Peran muthowif dalam city tour ini sangat besar. Dari muthowif inilah kami mendapat penjelasan tempat tempat yang dikunjungi tersebut.

Tempat wukuf merupakan padang yang luas, dan sekarang sudah banyak ditanam pohon pohon. Sehingga tempat tersebut tidak terlalu panas. Juga ada instalasi air menuju tiang tiang yang bisa menyemprotkan air untuk membuat hujan buatan.  Di dekat tempat wukuf ini ada gunung namanya Jabal Rahmah. Konon Nabi Adam dan Hawa bertemu setelah berpisah berpuluh tahun lamanya di Gunung ini. Puncak Jabal Rahmah tidak terlalu tinggi, hanya beberapa menit mendaki, jemaah sudah bisa mencapai puncak

Ada toilet di area ini, tapi kondisinya waktu itu tidak begitu bersih. Untuk ganti pakaian ihram, sebaiknya nanti setelah berada di masjid Aisyah. Disini cukup mengambil air wudhu saja. Di masjid Aisyah juga bisa, sih, wudhunya.  tapi antri. Kutulis ini untuk jamaah umroh lain yang mungkin memiliki rute city tour yang sama, sehingga bisa mengambil pelajaran dari pengalaman yang ada.

Dalam perjalanan ke masjid, kami dilewatkan kota Mina tempat tenda tenda dimana jemaah haji bermalam. Dari atas bus, kami bisa melihat dengan jelas banyak sekali tenda tenda di Mina ini. Sejauh mata memandang tampak atap atap putih dari tenda tenda ini. Tenda tenda ini sudah permanen, di atap bawah tenda sudah dipasang AC. Kain penutup tenda bagian bawah dibuka, sehingga kelihatan tiang tiangnya.

Sampai di masjid Aisyah, kami langsung sholat tahiyatul masjid dan sholat sunat ihrom. Jemaah yang belum memakai ihrom bisa berganti pakaian ihrom di masjid ini.

Untuk Umroh yang kedua ini, jemaah bisa meng’umrohkan’ orang lain yang telah meninggal. Aku sendiri berniat mengumrohkan kakakku, Silachuddin, kakak paling mbarep di keluargaku, meninggal saat masih kuliah di semester 3, saat itu aku masih MTs, Madrasah Tsanawiyah setara SMP. Kakak meninggal saat usia masih muda, masih berproses dengan jalan hidupnya. Sama sih, aku sendiri juga terus berproses, tapi kakakku ini masih sangat muda.  Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, mendapat tempat terbaik di sisiNya. Amin.

Jika dibandingkan dengan Umroh pertama, di Umroh kedua ini tempat miqot lebih dekat, tetapi waktunya siang, jemaah yang memang tidak kuat untuk menyelesaikan Umroh baiknya mundur saja. Karena sekali sudah berniat Umroh, harus bisa menyelesaikan sampai akhir atau terkena Dam.

Setelah kumpul di bus, muthowif memimpin kami melafalkan niat, tanda kami sudah masuk ke ritual Umroh.

Dari Masjid Aisyah ini kami tidak langsung menuju Masjidil Haram, rencananya thowaf dan sai dilaksanakan setelah sholat dhuhur dan makan siang di Hotel. Hotel Azka memiliki ruang untuk sholat yang luas. Letaknya persis di atas lantai restorant. Di tombol lift ditandai dengan singkatan PR (Pray Room).

Kami dari 3 hotel yang berbeda akhirnya bisa kumpul di pelataran Masjidil Haram dibawah tower sekira jam 14.00 waktu Arab. Disini ashar sekitar pukul 16.00 WAS (Waktu Arab Saudi)  masih ada waktu 2 jam an untuk melakukan thowaf dan sai.

Seperti umroh pertama, muthowif kami, Ustadz Razak dan ustadz Rais, memandu kami membaca doa doa Umroh, suaranya cukup lantang, sayang kadang tenggelam di tengah riuhnya jemaah di Masjidil Haram. sehingga jemaah yang kurang hafal doa kadang tidak bisa mengikuti. Untuk itu mungkin muthowif perlu alat seperti yang digunakan oleh jemaah lain yang kami lihat saat thowaf. Kami melihat jemaah dari biro lain sudah memakai alat komunikasi untuk membantu muthowif memandu jemaahnya. Muthowif menggunakan semacam alat pemancar suara yang menggunakan gelombang bluthooth atau radio yang dalam radius tertentu bisa ditangkap oleh alat penerima kecil yang bisa ditempel di telinga jemaah. Hal ini mungkin bisa menjadi masukan bagi biro yang belum menggunakan alat tersebut.

Walau panas terik, tapi lantai pelataran Ka'bah ini tetap dingin, sehingga kaki jemaah tidak kepanasan. Kabarnya ada sistem pendingin di bawah lantai pelataran Ka'bah ini, cuma dari googling informasi lain di internet, kabar tersebut ternyata tidak benar. Menurut berita yang kubaca, hal itu sejatinya karena lantai pelataran Ka'bah ini adalah marmer kualitas tinggi dari Yunani yang disebut marmer thassos.  Marmer tersebut bisa memantulkan cahaya matahari dan meredam hawa panas sepanjang hari.

Setelah thowaf dan sholat sunnah thowaf dua rekaat, kami berdoa dipimpin oleh Ustadz Suyanto. Selanjutnya minum air zam-zam dan tak lupa berdoa sebelum meminumnya. Kami lebih lancar melakukan ritual ini karena sudah pernah melakukan sebelumnya.

Setelah itu kami menuju tempat untuk sai. Ketahanan fisik memang dibutuhkan untuk ritual ini, mengingat jarak total yang dibutuhkan untuk menyelesaikan 7 putaran adalah 7 x 394,5 m = 2,761 km. Itu angka jarak total sai, Jika ditambah jarak 7 putaran thowaf sebelumnya, tentu saja  bisa dua kali bahkan tiga kali lebih jauh tergantung jalur mana yang dipakai untuk thowaf. Namanya putaran melingkar, semakin jauh dari titik pusat Ka'bah, semakin jauh jaraknya.

Alhamdulillah, kami bisa menyelesaikan Umroh kedua dengan lancar. Kami bertahallul.  muthowif tidak membawa gunting kali ini, tapi membawa pisau/silet cukur. Itu karena kebanyakan kami sudah gundul plontos tak punya rambut.


3 komentar:

Unknown mengatakan...

Makin penasaran,,,😉😃
Kyknya pak sochib lbh cocok jd jurnalis,,haha

Unknown mengatakan...

Tulisannya membuat kita ikut berada di sana.. josss

sochib mengatakan...

Terimakasih Mbak Nely dan Ibu Lilis sudah mampir :)

Posting Komentar

Kontributor