Senin, Maret 20, 2017

Catatan Ibadah Umroh I (di Madinah)

Kutulis perjalanan  ini sehingga tidak hilang ditelan lupa. Catatan teknis, pengalaman yang dirasa, juga kejadian-kejadian yang mungkin bisa menjadi pelajaran atau paling tidak, menjadi kenangan bagiku sendiri suatu saat nanti. Sejak awal bagaimanapun aku harus bisa memaknai perjalanan Umroh ini dengan sebaik-baiknya. Aku tidak ingin mengecewakan ibu yang mempunyai keinginan ke tanah suci bersama anak-anaknya di suatu masa. Alkisah pada saat menunaikan ibadah haji (tahun 2004), seperti selalu diceritakannya, ibu 'ngendika' bagaimana dia berdoa supaya suatu saat bisa berangkat lagi kelak bersama anak-anaknya, blio merasa doa itu dikabulkan Allah. Sempat kubilang bagaimana kalau aku tidak usah berangkat saja, aku merasa belum mampu. Tapi buru buru ibu menyela 'Eh, itu namanya g bersyukur, bla bla bla.. ', dan berdebat dengan ibu sepertinya bukan pilihan bijak. Ibu sangat yakin dengan apa yang dipercayainya.

Akhirnya aku berharap ini bukan hanya sekedar jalan jalan kosong, wisata religi atau apa. Ini adalah sebuah perjalanan SPIRITUAL.

Bertiga kami - aku, ibu dan kakak perempuanku - berangkat menggunakan biro haji dan umroh Hajar Aswad yang beralamat di Solo. Berangkat bersama rombongan yang jumlahnya sekitar 30 orang. Maskapai penerbangan yang digunakan adalah Garuda Indonesia, dengan rute Solo-Aceh-Jeddah. Di Bandara Sultan Iskandar Muda Aceh, pesawat berhenti sebentar untuk mengisi bahan bakar.  Dan ternyata ada tambahan penumpang juga dari Biro perjalanan umroh lain. Mungkin daerah Aceh sendiri, atau Medan dan sekitarnya.

Persiapan

Kutulis paragraf ini untuk ucapan terimakasih pada istriku, Windadari Murni, yang mempersiapkan semua barang bekal untuk keperluan di tanah suci. Daftar barang bawaan ditulis dan tertata rapi, sesuai rekomendasi barang bawaan dari biro umroh. Aku sama sekali tidak memikirkan lagi barang yang harus dibawa. Mulai dari obat-obatan, pakaian ganti, masker, pakaian dalam telah dimasukkan dalam koper. Tinggal bawa. Tidak perlu packing apa apa lagi.

Foto sebelum berangkat di depan Masjid Bandara Adi Soemarmo, Solo. Selasa, 28 Februari 2017

Bandara Adi Soemarmo
Pemeriksaan barang bawaan di Bandara Adi Soemarmo Solo berlapis 3, tas bawaan harus melewati alat scan untuk memastikan tidak ada barang terlarang yang dibawa. Bagi yang baru pertama kali terbang ke luar negeri lewat Bandara Adi Soemarmo Solo, hal ini bisa memicu urat tawa, Walah, Periksa terus, kapan terbangnya?   Gunting ternyata tidak boleh dibawa di tas cangking, alasannya adalah benda tersebut dianggap sebagai senjata tajam. Logam akan terdeteksi walau di dalam tas. Terpaksalah aku harus merelakan gunting baru yang rencananya untuk tahallul (potong rambut sebagai tanda telah selesainya rukun umroh) itu. Salah saya juga, sih. Harusnya ditaruh di koper bagasi.  Dan ternyata banyak juga yang tidak begitu memperhatikan aturan yang ada, hal ini mungkin perlu diperhatikan bagi biro perjalanan ini untuk tidak lupa memperingatkan lagi kepada para jamaah tentang barang bawaannya.  Jangan sampai terjadi barang berharga disita pihak bandara hanya gara-gara tidak tahu aturan yang berlaku. Sebotol madu ukuran 600 ml punya ibu yang baru diminum satu sendok ikut disita petugas bandara. "Iya, tapi digunakan yang baik ya.. Jangan dibuang, kasih ke orang yang memerlukan". Cerita ibu mewanti-wanti petugas bandara.

Di pintu pesawat, boarding pass diperiksa untuk mengetahui dimana seharusnya duduk.  Ada dua pintu pesawat  yang dibuka, Untuk nomer nomer akhir masuknya lebih dekat dari pintu tengah. Kalau mau masuk dari pintu depan sih, bisa, tapi anda akan melewati jalan sempit di antara kursi kursi pesawat lebih panjang.

Pesawat take off jam 9 persis sesuai jadwal.

Spiritual?

Salah satu pengalaman yang bisa dikategorikan pengalaman spiritual bagiku adalah saat naik  pesawat terbang pertama kali. Aku sama sekali belum pernah merasakan naik pesawat  terbang. Kalau dengar cerita dari orang sih, sering. Tapi merasakan sendiri seperti apa, BELUM PERNAH.

Kuperhatikan betul bagaimana pesawat take off. Pertama, pesawat mengambil posisi di pangkal landasan dan kemudian mulai bergerak maju dan melaju semakin kencang hingga sampai pada kecepatan tertentu sayap pesawat mampu mengangkat badan besi pesawat yang berisi ratusan manusia ke udara. Take off terasa mulus hingga tak terasa semua badan pesawat sudah terbang mengangkasa.

Aku pernah mendengar sebelumnya bahwa jika pesawat melewati kumpulan awan, akan terasa goncangan seperti naik mobil melewati jalanan berlobang. Benar memang, pesawat bergoncang goncang ketika melewati awan, yang tidak masuk di pikiranku saat mendengar cerita itu adalah bahwa keadaan seperti itu ternyata bisa berlangsung lama. Lebih dari 10 menit pesawat  masih bunyi bergeruduk. Kupikir, Emang Seberapa panjangnya awan itu? dengan kecepatan pesawat yang hampir 1000 km/jam, kenapa pesawat tidak segera tenang kembali setelah melewati awan? apakah yang namanya awan memang panjang?  Alhasil keluar pikiranku yang macam macam, keringat dingin di telapak tanganku keluar. Terbayang di benakku pesawat jatuh karena turbulance yang membawa banyak penumpang beberapa waktu lalu. Jangan-jangan itu akan terjadi lagi kali ini. Mungkinkah ini akhir hidupku? Pesawat menghujam ke laut dan tidak ditemukan? Mungkin aku akan mati karena gelagepan di kedalaman air laut atau tubuhku hancur berkeping-keping bersama badan pesawat  ini. Terbayang muncul berita di detik.com tentang pesawat jatuh yang membawa ratusan penumpang jamaah umroh. Dan daftar nama penumpang yang naas itu salah satunya adalah aku. Nama : Sochib Manan Ammar, alamat : Yogyakarta. Hadeh. Wajah tanpa kepanikan pramugara atau pramugari tidak bisa menenangkanku, barangkali mereka memang dilatih untuk bersikap tenang dalam keadaan panik. Weleh, hebat betul mereka!. Dan pikiran-pikiran itu sukses membuatku tidak bisa tidur sampai ke tempat tujuan. Bagiku ini benar benar spiritual, karena aku harus siap meninggalkan dunia ini, dengan pasrah. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan hidupku selain pasrah dengan apa yang bakal terjadi dengan pesawat yang kutumpangi. Naik pesawat  terbang ini bener-bener mengingatkanku akan kematian yang begitu dekat.

Tubuhku yang tak terbiasa naik pesawat juga punya masalah sendiri. Kepala pusing, jet lag, dan suara gemuruh mesin terasa mengganggu. Terlebih saat pesawat mau landing, daerah sekitar telinga rasanya mau pecah. Bagiku perjalanan naik pesawat ke tanah suci ini juga perjuangan ibadah itu sendiri. 

Jeddah
Alhamdulillah, akhirnya kami mendarat juga di Bandara King Abdul Aziz Jeddah. Sore hari sekira pukul 18.00 Waktu Arab Saudi. Tapi Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 22.00 WIB. Belum aku atur ke waktu arab. (Beda waktu antara Jeddah dan Solo adalah 4 jam), Kubayangkan, saat ini anak-anakku sudah pada tidur pulas. Dari jam 9.00 WIB pagi tadi, sampai pukul 22.00 WIB, berarti aku telah berada di dalam pesawat selama 13 jam-an.

Udara segar, pusing di kepalaku mulai berkurang. Selepas ke toilet bandara, kami semua mulai antri ke bagian imigrasi. Beberapa teman jamaah terlihat mengatur hape untuk bisa menghubungi keluarganya di tanah air. Aku sendiri tidak mengaktifkan paket roaming ke luar negeri dari operator yang selama ini kupakai. Untuk komunikasi, aku memilih menggunakan koneksi data internet dari operator TRI yaitu dengan membeli paket kuota internet ‘tri ibadah’. Hanya 77 rb untuk 9 hari. Disamping murah, juga gampang mengaktifkannya. Bisa diaktifkan lewat aplikasi Bima Tri yang tersedia di Playstore android.

Dari  Bandara Internasional King Abdul Aziz Jeddah, kami harus naik bus menuju kota Madinah. Jarak Jeddah ke Madinah aku check di Maps (Aplikasi Peta dari Google) adalah 400-an km, itu sama dengan jarak Jogja-Bandung. Namun karena jalan di sini lebar dan lurus, sedikit lampu lalu lintas, juga lengang tanpa macet, perjalanan ini bisa ditempuh maksimal 5-6 jam saja. Hari yang menjelang malam dan badan yang sudah lelah selama perjalanan lebih banyak aku isi dengan memejamkan mata berusaha untuk tidur. Walau tidak begitu pulas, tapi lumayan untuk mengembalikan energi yang hilang di pesawat. Dari Bandara Jeddah ini kami mulai dipandu oleh dua orang muthowif (semacam tour guide dalam perjalanan wisata) bernama ustad Razak dan ustadz Rais untuk mendampingi ibadah umroh ini, selain satu orang ustadz dari tanah air.  Ustadz Suyanto.

Sebagai muthowif, Ustad Razak dan Ustadz Rais begitu menjiwai perjalanan umroh ini. Masuk ke kota Madinah, kami dibangunkan oleh Ustadz Razak yang memberitahukan bahwa kami sudah mau masuk ke kota nabi. Bus besar ini dilengkapi sound system yang bagus sehingga apa yang dikatakan muthowif bisa terdengar oleh seluruh jamaah. Dengan dipimpin untuk bersalawat badar, kami semua melantunkan baid syair dari kitab Al Barzanzi ‘talangal badru alaina.. ‘, kita memasuki kota yang disucikan, kota Nabi Muhammad, kota Al Haram. Ada rasa haru kami semua yang berasal dari Indonesia setelah menempuh perjalanan jauh akhirnya sampai juga ke kota nabi ini.

Hotel
Tengah malam kami tiba di hotel, hotel yang aku tempati di Madinah bernama Hotel Concorde. Setelah pembagian kamar kami naik lift menuju kamar masing-masing. Aku mendapat kamar di lantai 14, lantai paling tinggi di hotel ini.  Denger-denger kemudian memang hotel-hotel di madinah dibatasi hanya 14 lantai. Supaya tidak lebih tinggi dari menara Masjid Nabawi. (Ini mungkin untuk menjaga supaya masjid Nabawi tidak tersaingi gedung-gedung di sekitarnya yang bisa saja menjadi lebih tinggi dan megah sehingga Masjid menjadi kurang ekslusif)

Aku dikelompokkan bersama 3 teman lain menempati kamar dengan 4 bed, kamar mandinya lumayan bagus, ada air panas, walau aliran air shower tidak begitu deras, tapi lumayan kemericik untuk dipakai mandi. Stop kontak listrik berlobang tiga, tapi tidak masalah untuk charger hapeku. Bagi pengguna Charger hape lama berkaki dua dan bulat, bukan pipih, baiknya perlu antisipasi dengan membawa konverter untuk lubang yang lebih besar.

Waktu sholat subuh masih lama. Di group WA beberapa teman jamaah yang tidak bisa tidur pingin langsung menuju masjid untuk sholat malam sekalian menunggu sholat subuh.  Aku sendiri berusaha untuk istirahat bersama teman sekamar dan mengatur alarm hape menjelang subuh. 

Niat memejamkan mata untuk istirahat di hotel rupanya susah juga, aku bersama salah satu teman kamar akhirnya berinisiatif berangkat duluan ke masjid mendahului 2 teman yang lain. Waktu subuh kira-kira masih kurang 2 jam. Gak papa, lah. Malah bisa jalan jalan dan lihat-lihat masjid nabawi pertama kali. 

Jalanan terang, semua lampu menyala, jalan menuju masjid bisa ditebak dari orang-orang yang juga mau menuju masjid, kami mengikuti saja mereka hingga ke masjid. Hawanya dingin, tapi tidak terlalu. Bisa dilawan dengan pakaian rangkap yang aku kenakan.

Setelah berjalan sekitar 500 m. Kami memasuki Masjid yang besar. Sangat besar. Halaman yang luas. Dan suasana ramai lalu lalang orang yang ke Masjid walau masih malam. Aku masuk melalui pintu 17, aku ingat-ingat nomer itu supaya nanti tidak tersesat. Begitu pesan ustadz pada pembekalan di solo. Dari pintu ini aku bersama Pak Sarwan kumar, teman satu kamarku itu, menyusuri ruangan masjid dengan tiang tiang penyangga yang besar dan megah. Ada area yang memang dikhususkan untuk jalan keluar masuk jamaah dengan diletakkan karpet karet tebal memanjang, sehingga kami tidak terasa dingin menginjak lantai masjid di malam hari. Di beberapa titik sekitar area itu diletakkan galon galon besar berjajar berisi air zam-zam. Pak Sarwan kuminta mengambil gambarku saat mengambil air zam zam.

.


Galon Air Zam-Zam di Masjid Nabawi
Kami yang tampak baru pertama melihat-lihat ruangan masjid rupanya diperhatikan oleh petugas kebersihan masjid. Dari jauh dia memberitahu dimana arah tengah masjid. Ternyata petugas kebersihan ini juga orang indonesia, karena dia menggunakan Bahasa Indonesia. Haa, kami tersenyum. Akhirnya kami mencari tempat daerah tengah masjid untuk sholat sunnah dan aku gunakan juga untuk membaca Alquran yang kubawa di tas cangklong. Kemana-mana kami dari rombongan Biro Hajar Aswad membawa tas cangklong kecil yang bisa kami isi dengan perlengkapan pribadi, alat ibadah bahkan tempat sandal supaya kami tidak kebingungan mencari letak sandal waktu pulang.

Adzan bergema. Beberapa jamaah tampak merekam moment ini dengan video di hape. Mengabadikan suasana masjid saat terdengar adzan. Semula kukira adzan itu adzan subuh, ternyata satu jam menjelang masuk fajar, adzan sudah dikumandangkan. Mungkin panggilan untuk sholat malam.  Tepat saat masuk subuh, adzan dikumandangkan lagi. Jamaah sholat subuh semakin banyak berdatangan, kuperhatikan banyak juga orang orang berwajah Asia, mungkin Indonesia atau Malaysia. Kelihatan dari pakaian yang dikenakan berupa sarung atau memakai peci. Ada rombongan berjaket dengan tulisan Uzbekistan, juga wajah-wajah India. Kamipun akhirnya bisa sholat subuh di Masjid Nabawi bersama orang dari berbagai penjuru ini.

Hari Rabu, setelah makan, Kami semua dijadwalkan untuk ke Raudhoh dan ziarah ke makam Baki. Raudhoh adalah suatu tempat di Masjid Nabawi di seputaran mimbar dan rumah Nabi. Ini adalah tempat yang mustajabah untuk berdoa. Tempat ini di tidak luas. Ditandai dengan karpet warna hijau. Banyak orang antri untuk bisa sholat dan berdoa di tempat ini. Aku bersama jamaah ikut antrean untuk bisa masuk ke Raudhoh ini. Antrean dibagi dalam blok blok antrean, tiap blok dibatasi oleh kain. Saat itu panjang antrean yang ada adalah 3 Blok. Setelah menunggu antrian kira-kira satu jam-an akhirnya aku bisa masuk ke Raudhoh. Bagaimanapun perjuangan antrian itu membuat haru diriku betapa akhirnya aku juga bisa memanjatkan doa-doaku disini. Catatan doa dari istri kubaca. Juga titipan doa dari teman teman coba kulafalkan dengan kata kata. Ini masalah amanat, titipan. Terkabul sesuai doa apa tidak urusan Tuhan. Manusia merencanakan, Gusti Allah yang menentukan.

Aku sendiri tidak tahu apa yang harus kupinta lagi kepada Tuhan. Yang jelas, Segala pengharapan yang baik untuk anak-anak maupun keluargaku seakan sudah masuk ke dalam aliran darahku, denyut nadiku, tarikan nafasku. Di ayunan langkahku,  di setiap mimpi-mimpiku. Cukuplah doa sapu jagad : “Rabbana atina fid dunya hasanah, wafil akhiroti hasanah, waqina adzabannar”

Setelah sukses sholat dan berdoa di Raudhoh, rencana rombongan akan ziarah ke makam Baki, tapi sayang pintu sudah tutup. Kami semua dipimpin muthowif cukup mengucapkan salam dan berdoa dari luar makam kepada  para semua ahlil qubur yang dimakamkan di sana. “Allahumma ghfirlahum warhamhum wa’afihim wa’fuanhum”

Waktu sholat asar masih lama, aku kembali ke hotel. Tidur lumayan pulas, mengembalikan energi tubuh yang hilang. Teman teman kamar juga tampak pulas. Angler. Ini kali pertama dalam perjalanan ini semua bisa istirahat dengan baik. 

Aku terbangun duluan saat teman teman sekamar kulihat masih pulas. Tubuh lumayan segar, pusing di kepalaku tidak terasa. Baiklah, kali ini aku ingin ke masjid sendirian saja. Melihat suasana sore Masjid Nabawi dan menapakkan langkahku sesuka hati. Ketiga teman kamar kubangunkan dan kupamiti setelah selesai mandi dan siap berangkat. Sampai di masjid aku mencari tempat yang agak longgar di sayap kanan. Di sini banyak para jemaah yang membuat kelompok duduk melingkar untuk membaca Alquran bersama. Ada anak-anak, ada dewasa. Mereka membawa semacam buku catatan seperti halnya anak TPA kalau di Indonesia. Mungkin itu catatan progress belajarnya.

Aku duduk sendiri. Sambil menunggu adzan ashar tiba, kugunakan untuk membaca baca Alquran yang kubawa.

Selepas sholat ashar, aku bergerak lebih ke tengah untuk merasakan suasana Masjid. Saat melewati satu kelompok yang sedang membaca Alquran, seorang ustadznya dengan bahasa isyarat memintaku untuk bergabung. Oke lah. Aku ingin coba berinteraksi dengan mereka. 

Tertulis di dalam papan kecil di sebelah ustadznya : “Quran teaching for visitor”,  ini adalah pengajaran Alquran bagi para pengunjung masjid. Seorang ustadz secara sukarela mengajari bagaimana membaca Alquran secara fasih sesuai mahrajnya. Waktu itu yang diajarkan adalah surat alFatehah. Ketika kupraktekkan bagaimana bacaan surat al fatehahku, ternyata berkali kali aku masih salah pada waktu mengucapkan kata ‘waladhollin’. Ustadz mengisyaratkan lidah yang harus ditarik ke belakang. Susah juga ternyata. Tapi di bacaan ayat ayat sebelumnya, Ustadz sudah berkomentar “masya Allah - masya allah”, satu penilaian kalau makhraj dari lidah jawaku ini sudah bagus.

Kuambil secara candid foto sang ustadz :

Quran teaching for visitor


Aku pulang dari masjid setelah sebelumnya mengisi air zam zam ke dalam botol pesanan ibu.

Rabu malam, selepas sholat isya dan makan malam di hotel.  ada pembekalan dari ustadz Suyanto. Berisi hal hal yang perlu diketahui untuk kegiatan hari besuk. Beberapa tidak bisa hadir karena sudah kecapekan dan lumayan larut sehabis makan malam. Pada intinya besuk acaranya adalah city tour di kota Madinah, beberapa wilayah yang dikunjungi agak rawan dengan peminta-minta yang kadang memaksa. Sebaiknya bawa uang secukupnya, surat surat penting tidak usah dibawa tidak apa-apa (bisa saja suratnya malah jatuh). Sedangkan untuk hari Jumat jam 9 koper bawaan harus sudah siap di lobby. Itu adalah hari terakhir kita di Madinah ini. Dan Siap siap untuk Ibadah inti dari perjalanan ini.

Kamis, hari kedua di Madinah, seperti direncanakan, acaranya adalah city tour Madinah. Mengunjungi tempat tempat bersejarah yang ada di kota Madinah. Jamaah diharapkan sudah siap Jam 8 di lobby hotel untuk bersama-sama naik bus besar.

Saat naik bus, Ini kali pertama aku bisa melihat suasana kota madinah di siang hari. Kuperhatikan bagaimana suasananya dibandingkan Yogyakarta. Kulihat banyak gedung gedung besar bertingkat. Kata muthowif itu adalah apartemen. Kebanyakan penduduk di kota ini tinggal di apartemen. Dan di bawah apartemen tersebut sudah dilengkapi dengan supermarket untuk kebutuhan penghuninya. Entah karena masih pagi atau memang jumlah penduduk yang sedikit, tak terlihat keramaian orang di pusat pusat pertokoan seperti di Indonesia. Di pinggir jalan, kadang terlihat mobil berhenti menjajakan sayuran, mungkin sayuran itu didatangkan dari luar kota untuk dipasarkan di kota Madinah ini.

Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah Jabal Uhud. Ini adalah gunung tempat berlangsungnya perang dimana kaum muslim kalah perang dengan pasukan quraish. Terbayang Pasukan muslim saat itu mungkin berada di atas gunung itu menguasai medan, dan kemudian mereka turun karena melihat harta lawan yang ditinggal begitu saja. Tidak disangka ternyata hal itu hanya jebakan.  Pasukan Quraish gantian naik menguasai gunung Uhud. Hingga pasukan muslim kocar kacir. Gunung itu seperti ingin menceritakan kisahnya lebih detail, sayang hanya bisa membisu.

photo_2017-03-18_12-00-59.jpg
Penulis berpose dengan latar belakang Jabal Uhud
photo_2017-03-18_12-03-35.jpg
Bersama rombongan Jamaah Hajar Aswad di Jabal Uhud
Selepas kami mengambil gambar dengan latar belakang Jabal Uhud, Muthowif mengajak kami mengunjungi Masjid Quba. Masjid ini merupakan masjid yang spesial, karena Nabi pernah bersabda Barang siapa yang bersuci di rumahnya dan kemudian pergi ke Masjid Quba dan sholat di dalam masjid ini, maka pahalanya seperti pahala umroh. Untuk itu kami semua serombongan dianjurkan oleh muthowif untuk menjaga wudhu dari hotel. Kami melakukan sholat tahiyatul masjid dan juga sholat dhuha di masjid ini.

Masjid Quba ini merupakan salah satu destinasi wajib bagi para peziarah yang ke kota Madinah ini. Bus bus dengan penumpang peziarah berbagai negara banyak parkir di halaman masjid, dan banyak pedagang di sekitar masjid yang menjajakan barangnya. Di sini aku beli tasbih dan parfum untuk oleh-oleh. Kupikir buat apa menukarkan rupiah ke  riyal kalau tidak buat beli-beli. Tasbihnya murah, ternyata tertulis di plastiknya ‘Made in China’ hehehe, aku tidak menyadari sampai istri komentar pada foto tasbih yang tak kirim di WA. "Yang asli dari Arab!" Hadeh, emang di arab ada pabrik tasbih??

Setelah dari masjid ini, kami diantar ke perkebunan kurma. Di area depan Ada banyak jenis kurma dijajakan. aku tak berniat beli kurma disini, hanya sekedar foto-foto dan melihat perkebunan kurma seperti apa. Tapi sepertinya hanya area kecil dari perkebunan kurma yang dibuka untuk umum. Khusus dipakai untuk foto foto dengan background pohon kurma atau bergaya di rindangnya pohon. Ini adalah salah satu foto itu :

photo_2017-03-18_11-17-03.jpg
Foto kenangan di Kebun Kurma
Menjelang siang, kami dijadwalkan sudah kembali ke masjid nabawi untuk sholat dhuhur berjamaah.

Sore, para jamaah mulai memikirkan kira-kira mau belanja apa yang untuk oleh-oleh dari ibadah umroh ini. Waktu yang tepat adalah saat ini. Besuk adalah waktu terakhir di Madinah, dan malam ini kami harus packing, persiapan check out hotel dan siap siap ibadah inti dari perjalanan ini.

Belanja dengan uang riyal serta tidak bisa berkomunikasi lancar dengan pedagangnya memang menyusahkan. Aku harus berpikir dua kali untuk beli-beli. Pedagang disini memang bisa berbahasa Indonesia, tapi hanya sebatas bahasa marketingnya misal : “Murah murah”, atau “bagus bagus, harga jokowi, harga tanah abang”. Bahkan bisa memanggil calon pembelinya dengan ‘mari ganteng.. mampir’, ‘Beli satu dapat dua!’. eh, bentar, apa tadi? Ganteng?? kok malah kaya bencong.

Di WA, istri menginginkan sajadah ‘made in turki’ yang harus dibeli dari sini, katanya lebih murah daripada di Indonesia. Okelah, aku mencoba menawar sajadah yang dijual disitu. Akhirnya aku mendapatkan sajadah turki di sebuah kios bawah hotel, beli lima buah langsung bisa lebih murah. Harga yg kudapat sebenarnya dibanding Indonesia memang lebih murah apa lebih mahal tidak terpikir lagi, yang penting itu oleh oleh asli dibawa dari tanah arab, seperti kemauan istri. Hahaha.

Secara teknis, saat Sholat Jumat kami dianjurkan sudah memakai pakaian ihrom. Dan selepas sholat jumat langsung disambung sholat asar yang dijamak qashar  karena perjalanan Madinah ke Mekah memakan waktu yang lumayan panjang.

Mamakai pakaian ihrom kalau belum terbiasa memang  terasa ribet, sering jatuh jatuh jika dipakai gerak. Waktu sholat sepertinya malah repot membenarkan letak pakai ihrom yang jatuh jatuh itu. Terlebih waktu sujud, tangan  yang harus manapak  lantai ribet mencari jalan keluar dari jeratan kain ihrom.  kadang malah terasa lucu  kalau tidak ketemu ketemu ujung kainnya. Terpaksalah tangan menapak dari balik kain ihrom.

Habis sholat jumat yang dilanjut sholat asar yang dijamak dan makan siang, kami mulai berangkat naik bus menuju masjid Abyar Ali (orang indonesia sering menyebutnya dengan masjid Bir Ali). Ini adalah masjid untuk mengambil miqot, yaitu batas tempat dimana kami harus memakai pakaian ihrom dan berniat untuk mulai menjalankan rukun ibadah umroh.

(bersambung di Catatan Ibadah Umroh II (di Mekkah))


5 komentar:

Kang Acep, Pendongeng Indonesia mengatakan...

Tulisan yang renyah, enak dibaca, mudah dibayangkan, seru banget

Unknown mengatakan...

Luar biasa...pngalaman yg sangat brharga mas bro,,,
Saya jg pngin mrasakan prjlnan spritual spti ini,,,
Kpn nymbungnya nih???

Unknown mengatakan...

Mata jadi berkaca ni.. teringat indahnya umroh.. terima kasih untuk tulisan indahnya

paket umroh murah 10 juta mengatakan...

Makasi, artikel ini sangat bagus dan bermanfaat sekali terutama bagi jamaah yang baru pertama kali ingin melaksanakan umroh..terima kasih ya

Gallery Umroh mengatakan...

MasyaAllah keren banget banget Artikelnya,, jadi pingin ke baitullah lagi
Jangan lupa Baca Artikel Saya juga ya

Posting Komentar

Kontributor